Sunday, 17 November 2013

Gunung Mimpi


Sejak kecil aku menyukai acara televisi yang berbau petualangan. Aku sangat menyukai saat pembawa acaranya sedang berpetualang mendaki gunung. Aku menyukai itu, menantang, banyak pepohonan dan indah. Suatu hari acara itu menayangkan pendakian ke suatu gunung yang berada di Jawa Timur. Gunung yang sangat menakjubkan ku rasa, ada danau yang berkilauan dengan latar belakang pepohonan yang indah, padang rumput yang menawan seperti permadani, dan ada pula padang bunga ungu yang luar biasa indahnya. Sungguh pemandangan yang selalu ku impikan. Gunung itu ku sebut gunung mimpi. Karena keindahannya seperti yang biasa ku lihat di bayangan mimpi-mimpi ku sewaktu kecil.

Sejak menonton acara itu aku selalu membayangkan bisa kesana saat aku sudah besar nanti. Aku ingin melihat secara langsung pemandangan gunung itu yang selama ini hanya sekilas ku lihat di televisi. Pemandangannya luar biasa indahnya. Bahkan membayangkannya saja sudah membuatku gemetar. Sungguh seperti di negeri dongeng.

Sekarang sudah bertahun-tahun berlalu, dan aku tetap mengidamkan bisa mendaki gunung itu. Sewaktu SMA aku mengikuti ekstrakurikuler pecinta Alam, dengan harapan agar aku bisa mendaki gunung-gunung yang indah. Termasuk gunung mimpi itu. Tapi tampaknya gunung mimpi belum mengundangku. Aku belum sempat kesana hingga saat ini.

Aku sangat berharap suatu saat nanti bisa datang dan bertamu kepadanya. Sudah lama ku nantikan memang. Bahkan beberapa kali aku memimpikannya dalam tidurku. Mendatangi gunung tersebut. Dan benar saja, dalam mimpiku aku melihat padang rumput yang sangat luas dan indah, dan tanjakan-tanjakan menantang yang membuat semua orang penasaran ingin mengetahui ada apa di atas sana. Aku juga melihat adanya patung Yesus yang sangat besar, berdiri kokoh disitu seperti sebuah monumen. Tapi yang ku dengar dari cerita orang sih tidak ada patung Yesus disana.

Tuhan, sekarang aku sudah cukup besar untuk boleh melakukan perjalanan panjang dan menantang. Tapi sekarang aku sudah tidak sesehat dulu Tuhan, kapan saja aku bisa sakit, dan kalau penyakitku sedang datang, rasanya sakit sekali untuk digerakkan. Tapi ku rasa itu tidak jadi masalah Tuhan, dengan rasa optimis dan keyakinanku pasti kau akan menolong dan mengabulkan doaku kan? Sesungguhnya Kau kan yang maha mengatur sakit tidaknya seseorang?

Kau sungguh maha pencipta yang terhebat, Tuhan. Hanya Kaulah yang bisa menciptakan keindahan sedemikian rupanya itu. Kau sang maestro alam.  Hanya melihatnya di televisi saja sudah membuatku mengawang. Aku ingin kesana, izinkanlah gunungmu itu mengundangku dan menjamuku dengan segala keindahannya. Kabulkanlah doaku ya Tuhan.... Agar gunung itu tidak hanya sekadar mimpi bagiku, sudah cukup ku rasa waktu yang ku gunakan untuk memimpikannya. Kini aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Amiinn...


Yogyakarta, 12 November 2013

Papa Pei....

Well, sebagai permulaan. Kisah ini dialami oleh salah seorang temanku, dan seperti biasa dia menitipkan tulisannya dalam tempat sampahku ini.

“Aku seorang perempuan, saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan saat itu aku sedang ujian nasional tingkat SMP. Aku ingat aku pulang ujian malah justru meminta izin kepada orang tuaku untuk bermain bersama teman. Izin ku hanya sebentar saja, dan mereka dengan enggan mengizinkan karena aku memaksa. Aku bermain bersama salah seorang temanku dengan ceria, hampir lupa padahal besok ujian IPA. Kami membicarakan banyak hal, bercanda, tertawa. Hal itu sangat menghibur ditengah-tengah penatnya pikiran karena ujian. Langit sore sudah menguning, aku sadar aku sudah mewati jam janjiku tadi. Sehingga ku putuskan untuk segera pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah aku membuka pintu depan pelan-pelan, takut ketahuan oleh ibuku. Ternyata aku dapat zonk. Saat pintu ku buka, justru ibuku sudah dibalik pintu dengan muka tampak tidak senang. Ku perhatikan mukanya, aku tidak berani lama-lama aku takut dimarahi. Mukanya memerah. Tadinya aku berniat menundukkan kepala, tapi karena merasa janggal dengan ekspresi ibuku yang lebih mirip menahan kesedihan daripada marah, aku menatapnya lebih lama. Tidak ada kata-kata yang keluar di antara mulut kami. Ibuku justru malah terisak tidak dapat menahan air mata, kemudian memelukku. Aku masih bingung ada apa ini, hal buruk pasti telah terjadi. Beberapa detik kemudian baru ibuku bisa berbicara. Dia mengatakan bahwa Papa Pei meninggal, dia menahan badanku karena tahu reaksiku pasti akan mengamuk. Benar saja, tidak banyak air mata yang keluar, aku justru mengamuk dan marah. Kala itu aku bingung, dan aku tidak tau ingin marah ke siapa. Yang ku rasakan hatiku sangat sakit, dan aku tidak mampu menahannya. Aku tidak terima Papa Pei harus meninggal secepat ini. Diusiaku yang segitu aku belum bisa menahan emosiku. Ayahku tak lama datang dan menahan diriku yang marah seperti orang kesetanan. Dia bilang, “Papa pei sudah saatnya pergi.. Kita masih bisa bertemu di kehidupan selanjutnya...” dan kata-kata bijak lainnya yang aku pun tidak konsentrasi mendengarkannya.

Meninggalnya Papa pei lebih menyakitkan hatiku karena mungkin saat itu usiaku berada dipuncaknya kelabilan. Papa pei adalah keluarga dari ayahku, dan dia adalah sosok ayah bagiku sejak aku mulai belajar membaca sampai aku remaja. Kala itu ayahku tidak ada bersamaku, begitupun ibu dan adikku. Hubungan ku dengan Papa Pei tentu jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan orang tuaku kala itu. Papa Pei pun sepertinya sudah menganggapku anakknya sendiri. Aku ingat setiap hari senin aku selalu dibelikan coklat dan bakso.

Kematian Papa Pei saat aku ujian membuatku tidak bisa pulang. Hanya wasiatnya yang ku turuti, dia ingin aku masuk sekolah negeri. Setahun kemudian baru aku pulang kekampung halaman. Sudah ku rencanakan aku tidak akan menangis saat aku tiba disana. Aku mengingat itu setiap saat.

Setibanya di kampung halaman aku disambut oleh keluarga besarku, itu sudah menjadi tradisi. Terlebih mereka tahu aku pulang sendirian dari tempat yang jauh disana. Ada kejanggalan saat aku datang, biasanya Papa Pei yang menyambutku paling depan dan membawawkan tasku. Kini dia tidak ada lagi. Namun justru keluargaku menyambutku dengan senyuman yang di lebar-lebarkan. Ada keharuan disitu, jelas kesedihan saling kami sembunyikan. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi dengan keharuan, aku masuk kamar dan akhirnya menangis. Budeku menghiburku dengan menahan tangisnya juga. “aku merindukan Papa Pei bu” kataku kepada budeku. Dan aku memaksa untuk dibawa ke tempat semayamnya. Budeku menjanjikanku sore harinya.

Kematian papa Pei sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini saat aku pulang ke kampung halaman, aku masih bisa melihat beliau menyambutku di pintu rumah dan menawarkan membawakan tasku. Tiap aku ke persemayamannya, aku selalu tersenyum sendiri. Dulu sejak aku kecil, aku selalu pergi ke kuburan dengan Papa Pei, dia yang mengajariku merawat kuburan leluhur. Kami memetik bunga bersama, mencabuti rumput bersama, dan membersihkan batu nisan dari lumut dan rayap bersama. Tapi sekarang, aku justru yang membersihkan makamnya, menaburi bunga ke makam orang yang dulu melakukan hal yang sama bersama denganku. “Pa Pei, maaf aku sekarang jarang ke kuburan lagi...””


Yogyakarta, 11-11-2013

Batu Nisan

Buk, kisah ini terjadi kurang lebih awal tahun 2011 yang lalu...
Buk, pernah kau membandingkan teman mana yang paling kamu sukai? Aku pernah, hah, seharusnya tak pantas bagi siapapun membandingkan satu teman dengan teman yang lain. Tapi buk, pikiran itu pernah terlintas karena aku pernah merasa terkhianati oleh seorang teman. Sungguh buk, kala itu aku sangat menyayanginya, sangat. Dia sudah ku anggap milikku buk, aku ceritakan ke semua orang bahwa aku punya teman dia, konyol, unik, bodoh tapi cerdas, dan hal lucu lain mengenai dirinya. Ku ceritakan dia kepada orang tuaku, temanku, sepupuku, adikku. Itu karena aku bangga dengan dia buk. Tapi buk, ada suatu kejadian yang membuatku hanya bisa kecewa dengan pertemanan ini. Panjang bila diceritakan, singkat cerita belakangan aku tidak dianggap teman lagi olehnya, ini hanya karena perbedaan pendapat di suatu urusan sosial. Sakit hatiku ini buk, dia hanya mau berteman dengan orang yang sependapat dengannya. Banyak temanku yang jadi sejalan dengannya dan kemudian juga menjauhiku. Temanku yg lain tetap tersenyum dihadapanku, tapi aku tau, dalam hatinya tetap menyimpan kejanggalan, kejanggalan seperti seseorang yang overdosis memakan selai kacang. Alias keracunan. Haruskah perbedaan pendapat urusan forum menjadi penghalang kita dalam berteman? Dia pernah mengataiku di depan teman yang lain bahwa aku gila hormat, tapi coba lihat, siapa yang ingin kata-katanya selalu dituruti? Entah siapa yang egois buk! Maaf, sungguh aku tidak bermaksud menyalahkannya.

Buk, kala aku lihat mereka, sering dalam hatiku aku berbicara sendiri. Apa kalian ingat kita pernah pergi ke danau dan menginap bersama? apa kalian masih menyimpan baju boyband kalian? Ingatkah kalian kita pernah memandang bintang bersama? berkhayal bersama? dan bangga atas pertemanan kita ini?
Sering ku perhatikan dirimu, ingin ku sampaikan ini padamu kawan. Kenapa kamu tambah kurus? Apa kamu sedang stres karena sesuatu? Rambutmu sudah terlihat gondrong, kapan mau memotongnya? Katanya ingin mengajakku naik gunung, kenapa sudah berkali-kali naik aku gak pernah diajak? Padahal kamu tau aku selalu mengatakan aku ingin naik gunung. Hehe... teman-temanku  jangan lupa kalian makan, jaga kesehatan dan rajin ganti baju. Kalian terlihat kusut dan banyak pikiran. Kalau baju kalian habis, kita bisa beli baju yang sama untuk dipakai, seperti jaman dulu kita selalu membeli baju yang seragam seperti anak panti. Aku rindu kalian temanku, tapi aku sadar seperti kata orang bijak “ada pertemuan, ada pula perpisahan” mungkin sudah saatnya aku berpisah dengan kalian, bukan berpisah secara fisik, tapi jiwa kalian sudah bukan untukku lagi. Selamat jalan teman-temanku yang ku sayang. Bahkan bila ada batu nisan untukmu, batu nisan itu akan selalu ku jaga sebagai tanda atas jejakmu yang indah.

Ok, anyway tapi gak papa buk. Sekarang aku tau jawabannya buk, kalau aku ditanya teman mana yang paling kau percaya. Saat ini, aku akan memilih temanku semasa kecil. Kita berteman tanpa asas kepentingan buk. Kita berteman karena kita memang pingin bersenang-senang. Bukan karena dipaksa dalam suatu lingkungan, atau karena alasan sama-sama anak rantau. Tapi ini tidak menutup kemungkinan aku akan menemukan teman yang benar-benar tulus di waktu yang sekarang atau mendatang. Selalu ada orang baik yang diciptakan untuk kita buk. Aku percaya itu.

Dan ada satu hal lagi yang bisa ku petik pelajaran buk. Sayang sama orang boleh, bukankah sesama manusia kita harus saling menyayangi? Ya, tapi jangan terlalu dipercayai. Gak percaya bukan berarti selalu curiga dan gak berbuat baik kepadanya. Kita harus tetap berbuat baik sama siapa aja, apalagi teman kita. Gak penting deh, orang lain butuh kita untuk berbuat baik atau gak, kapan dia kangen sama kita, dan kapan dia butuh kehadiran kita. Yang terpenting adalah kita selalu ada di sampingnya, berusaha buat lingkungan tertawa dan bahagia. Selalu ada disampingnya bukan berarti protektif buk tapi biar kita selalu avaliable kalo dia memang butuh kita kapanpun.


Yogyakarta, 10 November 2013