Well, sebagai
permulaan. Kisah ini dialami oleh salah seorang temanku, dan seperti biasa dia
menitipkan tulisannya dalam tempat sampahku ini.
“Aku seorang
perempuan, saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan saat itu aku sedang ujian
nasional tingkat SMP. Aku ingat aku pulang ujian malah justru meminta izin
kepada orang tuaku untuk bermain bersama teman. Izin ku hanya sebentar saja,
dan mereka dengan enggan mengizinkan karena aku memaksa. Aku bermain bersama
salah seorang temanku dengan ceria, hampir lupa padahal besok ujian IPA. Kami
membicarakan banyak hal, bercanda, tertawa. Hal itu sangat menghibur
ditengah-tengah penatnya pikiran karena ujian. Langit sore sudah menguning, aku
sadar aku sudah mewati jam janjiku tadi. Sehingga ku putuskan untuk segera
pulang ke rumah.
Sesampainya di
rumah aku membuka pintu depan pelan-pelan, takut ketahuan oleh ibuku. Ternyata
aku dapat zonk. Saat pintu ku buka, justru ibuku sudah dibalik pintu dengan
muka tampak tidak senang. Ku perhatikan mukanya, aku tidak berani lama-lama aku
takut dimarahi. Mukanya memerah. Tadinya aku berniat menundukkan kepala, tapi
karena merasa janggal dengan ekspresi ibuku yang lebih mirip menahan kesedihan
daripada marah, aku menatapnya lebih lama. Tidak ada kata-kata yang keluar di antara
mulut kami. Ibuku justru malah terisak tidak dapat menahan air mata, kemudian
memelukku. Aku masih bingung ada apa ini, hal buruk pasti telah terjadi.
Beberapa detik kemudian baru ibuku bisa berbicara. Dia mengatakan bahwa Papa
Pei meninggal, dia menahan badanku karena tahu reaksiku pasti akan mengamuk. Benar
saja, tidak banyak air mata yang keluar, aku justru mengamuk dan marah. Kala
itu aku bingung, dan aku tidak tau ingin marah ke siapa. Yang ku rasakan hatiku
sangat sakit, dan aku tidak mampu menahannya. Aku tidak terima Papa Pei harus
meninggal secepat ini. Diusiaku yang segitu aku belum bisa menahan emosiku. Ayahku
tak lama datang dan menahan diriku yang marah seperti orang kesetanan. Dia
bilang, “Papa pei sudah saatnya pergi.. Kita masih bisa bertemu di kehidupan
selanjutnya...” dan kata-kata bijak lainnya yang aku pun tidak konsentrasi
mendengarkannya.
Meninggalnya
Papa pei lebih menyakitkan hatiku karena mungkin saat itu usiaku berada
dipuncaknya kelabilan. Papa pei adalah keluarga dari ayahku, dan dia adalah
sosok ayah bagiku sejak aku mulai belajar membaca sampai aku remaja. Kala itu
ayahku tidak ada bersamaku, begitupun ibu dan adikku. Hubungan ku dengan Papa
Pei tentu jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan orang tuaku kala itu.
Papa Pei pun sepertinya sudah menganggapku anakknya sendiri. Aku ingat setiap
hari senin aku selalu dibelikan coklat dan bakso.
Kematian Papa
Pei saat aku ujian membuatku tidak bisa pulang. Hanya wasiatnya yang ku turuti,
dia ingin aku masuk sekolah negeri. Setahun kemudian baru aku pulang kekampung
halaman. Sudah ku rencanakan aku tidak akan menangis saat aku tiba disana. Aku
mengingat itu setiap saat.
Setibanya di
kampung halaman aku disambut oleh keluarga besarku, itu sudah menjadi tradisi.
Terlebih mereka tahu aku pulang sendirian dari tempat yang jauh disana. Ada
kejanggalan saat aku datang, biasanya Papa Pei yang menyambutku paling depan
dan membawawkan tasku. Kini dia tidak ada lagi. Namun justru keluargaku
menyambutku dengan senyuman yang di lebar-lebarkan. Ada keharuan disitu, jelas
kesedihan saling kami sembunyikan. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi
dengan keharuan, aku masuk kamar dan akhirnya menangis. Budeku menghiburku
dengan menahan tangisnya juga. “aku merindukan Papa Pei bu” kataku kepada
budeku. Dan aku memaksa untuk dibawa ke tempat semayamnya. Budeku menjanjikanku
sore harinya.
Kematian papa
Pei sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini saat aku pulang ke kampung
halaman, aku masih bisa melihat beliau menyambutku di pintu rumah dan
menawarkan membawakan tasku. Tiap aku ke persemayamannya, aku selalu tersenyum
sendiri. Dulu sejak aku kecil, aku selalu pergi ke kuburan dengan Papa Pei, dia
yang mengajariku merawat kuburan leluhur. Kami memetik bunga bersama, mencabuti
rumput bersama, dan membersihkan batu nisan dari lumut dan rayap bersama. Tapi
sekarang, aku justru yang membersihkan makamnya, menaburi bunga ke makam orang
yang dulu melakukan hal yang sama bersama denganku. “Pa Pei, maaf aku sekarang
jarang ke kuburan lagi...””
Yogyakarta,
11-11-2013
No comments:
Post a Comment