Sunday, 17 November 2013

Papa Pei....

Well, sebagai permulaan. Kisah ini dialami oleh salah seorang temanku, dan seperti biasa dia menitipkan tulisannya dalam tempat sampahku ini.

“Aku seorang perempuan, saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan saat itu aku sedang ujian nasional tingkat SMP. Aku ingat aku pulang ujian malah justru meminta izin kepada orang tuaku untuk bermain bersama teman. Izin ku hanya sebentar saja, dan mereka dengan enggan mengizinkan karena aku memaksa. Aku bermain bersama salah seorang temanku dengan ceria, hampir lupa padahal besok ujian IPA. Kami membicarakan banyak hal, bercanda, tertawa. Hal itu sangat menghibur ditengah-tengah penatnya pikiran karena ujian. Langit sore sudah menguning, aku sadar aku sudah mewati jam janjiku tadi. Sehingga ku putuskan untuk segera pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah aku membuka pintu depan pelan-pelan, takut ketahuan oleh ibuku. Ternyata aku dapat zonk. Saat pintu ku buka, justru ibuku sudah dibalik pintu dengan muka tampak tidak senang. Ku perhatikan mukanya, aku tidak berani lama-lama aku takut dimarahi. Mukanya memerah. Tadinya aku berniat menundukkan kepala, tapi karena merasa janggal dengan ekspresi ibuku yang lebih mirip menahan kesedihan daripada marah, aku menatapnya lebih lama. Tidak ada kata-kata yang keluar di antara mulut kami. Ibuku justru malah terisak tidak dapat menahan air mata, kemudian memelukku. Aku masih bingung ada apa ini, hal buruk pasti telah terjadi. Beberapa detik kemudian baru ibuku bisa berbicara. Dia mengatakan bahwa Papa Pei meninggal, dia menahan badanku karena tahu reaksiku pasti akan mengamuk. Benar saja, tidak banyak air mata yang keluar, aku justru mengamuk dan marah. Kala itu aku bingung, dan aku tidak tau ingin marah ke siapa. Yang ku rasakan hatiku sangat sakit, dan aku tidak mampu menahannya. Aku tidak terima Papa Pei harus meninggal secepat ini. Diusiaku yang segitu aku belum bisa menahan emosiku. Ayahku tak lama datang dan menahan diriku yang marah seperti orang kesetanan. Dia bilang, “Papa pei sudah saatnya pergi.. Kita masih bisa bertemu di kehidupan selanjutnya...” dan kata-kata bijak lainnya yang aku pun tidak konsentrasi mendengarkannya.

Meninggalnya Papa pei lebih menyakitkan hatiku karena mungkin saat itu usiaku berada dipuncaknya kelabilan. Papa pei adalah keluarga dari ayahku, dan dia adalah sosok ayah bagiku sejak aku mulai belajar membaca sampai aku remaja. Kala itu ayahku tidak ada bersamaku, begitupun ibu dan adikku. Hubungan ku dengan Papa Pei tentu jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan orang tuaku kala itu. Papa Pei pun sepertinya sudah menganggapku anakknya sendiri. Aku ingat setiap hari senin aku selalu dibelikan coklat dan bakso.

Kematian Papa Pei saat aku ujian membuatku tidak bisa pulang. Hanya wasiatnya yang ku turuti, dia ingin aku masuk sekolah negeri. Setahun kemudian baru aku pulang kekampung halaman. Sudah ku rencanakan aku tidak akan menangis saat aku tiba disana. Aku mengingat itu setiap saat.

Setibanya di kampung halaman aku disambut oleh keluarga besarku, itu sudah menjadi tradisi. Terlebih mereka tahu aku pulang sendirian dari tempat yang jauh disana. Ada kejanggalan saat aku datang, biasanya Papa Pei yang menyambutku paling depan dan membawawkan tasku. Kini dia tidak ada lagi. Namun justru keluargaku menyambutku dengan senyuman yang di lebar-lebarkan. Ada keharuan disitu, jelas kesedihan saling kami sembunyikan. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi dengan keharuan, aku masuk kamar dan akhirnya menangis. Budeku menghiburku dengan menahan tangisnya juga. “aku merindukan Papa Pei bu” kataku kepada budeku. Dan aku memaksa untuk dibawa ke tempat semayamnya. Budeku menjanjikanku sore harinya.

Kematian papa Pei sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini saat aku pulang ke kampung halaman, aku masih bisa melihat beliau menyambutku di pintu rumah dan menawarkan membawakan tasku. Tiap aku ke persemayamannya, aku selalu tersenyum sendiri. Dulu sejak aku kecil, aku selalu pergi ke kuburan dengan Papa Pei, dia yang mengajariku merawat kuburan leluhur. Kami memetik bunga bersama, mencabuti rumput bersama, dan membersihkan batu nisan dari lumut dan rayap bersama. Tapi sekarang, aku justru yang membersihkan makamnya, menaburi bunga ke makam orang yang dulu melakukan hal yang sama bersama denganku. “Pa Pei, maaf aku sekarang jarang ke kuburan lagi...””


Yogyakarta, 11-11-2013

No comments:

Post a Comment