Kali
ini agak abstrak memang. Agak bingung untuk menceritakannya, ini cerita tentang
orang yang ku kenal. Mungkin bisa langsung saja ku mulai. Kali itu, bulan Maret
beberapa tahun silam, menjadi anggota baru disebuah perkumpulan tentu akan
menambah teman. Dan perkumpulan itu membawaku pada perkenalan oleh beberapa
orang, dua diantaranya yaitu Rene dan Vio.
Sesungguhnya
aku sudah ‘pernah’ mengenal Vio sebelumnya, tidak akrab memang. Dia hanya teman
dari seorang teman baikku, dan kami pernah bertemu beberapa kali. Kesan pertama
ku saat bertemu dengan Vio kala itu yaitu –tidak begitu berkesan- biasa saja.
Tapi memang ada hal yang menarik dari Vio, dia seorang wanita yang berdandan
dominan laki-laki. Namun hal itu tidak terlalu membuatku terkesan, aku sudah
sering melihat penampilan wanita seperti itu sebelumnya. Dan Rene, sungguh
orang baru bagiku, cukup eksentrik ku rasa. Selain itu dia orang yang mudah
tersenyum kepada siapa saja, hanya saja dia memiliki pandangan yang sinis. Jadi
sungguh kontras antara bibir dan matanya.
Vio
orang yang berambut pendek tentu, bertinggi badan sedang. Kulit sawo matang dan
pawakan badannya yang padat, menambah kesan kelelakiannya. Sedangkan Rene,
seorang gadis biasa dengan paras lembut dan mata yang khas.
Sebenarnya
awalnya kami berkenalan di ‘perkumpulan’ hanya untuk basa-basi. Karena akan
aneh rasanya bila dalam satu ‘perkumpulan’ namun kami tidak saling mengenal,
minimal tahu nama. Tapi meskipun kami tidak terlalu akrab beberapa kali kami
pernah jalan bareng bertiga di luar urusan ‘perkumpulan’, Rene dan Vio cukup
seru bagiku untuk ukuran penghuni ‘perkumpulan’ ilmiah semacam itu.
Rene
dan Vio ku lihat memang lebih akrab daripada aku dan Rene atau aku dan Vio.
Walau mereka pernah beberapa kali terlihat bertengkar, namun aku tahu
sesungguhnya mereka sahabat cukup akrab dan cocok, kukira. Pernah sewaktu aku
ke kantin hanya berdua dengan Rene, Rene bercerita tentang Vio yang selalu
menyebalkan saat ditanya mengenai materi diskusi, dan itu membuatnya marah.
Dikesempatan yang lain Rene juga pernah bercerita mengenai Vio yang tukang
tidur dan itu menurutnya lucu, tentu Rene bercerita sambil tertawa. Di lain
sisi Vio pernah ku lihat membating botol saat Rene mengejeknya dengan suara
keras. Dan diwaktu yang lain Vio pernah membelikan Rene empat lolipop gambar
kuda karena tau Rene sangat menyukai kuda. Sangat aneh memang mereka, aku hanya
bisa membatin dalam hati mengenai tingkah mereka. Persahabatan memang lucu, kadang
bertengkar dan kadang akur, kadang membawa kita kembali seperti anak-anak dan
dilain waktu membuat kita berpikir dewasa. Bagiku mereka sebenarnya sungguh
sahabat yang sejati.
Hari
lain di pertemuan ‘perkumpulan’ aku tidak melihat Rene dan Vio, ah mungkin
mereka sengaja bolos. Maklum saja mereka berdua bukan tipe orang yang rajin dan
terlihat rajin, mereka sudah cukup pintar walau melewatkan beberapa kali
mentoring.
“eh Rene Vio gak dateng
ya?” tanya Devi, salah seorang anggota ‘perkumpulan’ padaku.
“iya kayaknya”
“apa mereka pergi
kencan?” tanya Ghean menyambung pertanyaan Devi.
Kencan? Kata kencan
cukup menggelitik bagiku.
“entahlah. Hehe”
jawabku geli.
“mereka pacaran ya?”
Ghean menyambung pertanyaannya.
“pacaran?” ku pastikan
pertanyaannya. Aneh rasanya, bukannya mereka perempuan? Walau Vio terlihat
seperti lelaki namun aku tidak pernah berpikir bahwa Vio seorang lesbian. Agak
tersinggung sebenarnya aku kala mendapat pertanyaan dari Ghean, karena aku
merasa cukup dekat dengan mereka.
“iya, kamu kan cukup
akrab sama dia, kok gak tau sih?”
“emang kamu tau
darimana?”
“harusnya kau tau
darimana, kalau kamu peka” lalu mereka berdua meninggalkanku sendiri.
Pacaran?
Ku cerna lagi kalimat itu, tidak menutup kemungkinan seorang manusia mengalami
penyimpangan. Tapi aku tidak berpikir ke mereka, aku mengira mereka sahabat.
Dan mereka sahabat yang sangat kompak. Sungguh kasihan mereka berdua, hanya
karena Rene dekat dengan Vio yang seperti lelaki, mereka dikira lesbi. Sekitar
memang terkadang kejam, bicara tanpa difilter.
Beberapa
minggu terakhir tidak diadakan pertemuan ‘perkumpulan’ karena bertepatan dengan
hari libur panjang, sekolah pun otomatis juga libur. Maka hari-hari ini adalah
hari bebas, bebas bermain, nongkrong, tiduran atau yang lainnya. Maka malam ini
ku putuskan untuk nongkrong dengan memesan segelas vanilla late sambil menonton
pertunjukan musik band ternama. Tempat ini memang biasa menyuguhkan
performa-performa dari band-band terkenal, tidak dipungut biaya, dan tidak juga
banyak orang berdesakan untuk menontonnya walau pertunjukan ini menampilkan
band terkenal, tempat ini seperti telah berhasil mengubah gaya hidup anak muda
yang kebanyakan cenderung alay.
Disini semua orang seolah diajarkan berperilaku elegan, cukup duduk manis
memesan minuman/makanan yang lumayan mahal sambil menikmati alunan musik dari
sang bintang atau kalau kau ingin sekadar ngobrol dengan teman. Dan malam itu
aku memilih pergi sendirian.
Ditengah-tengah
lamunanku memperhatikan orang lalu lalang, tiba-tiba aku dikagetkan oleh dua
orang berjalan dengan saling merangkul. Sepertinya aku kenal, tapi tidak, wajah
mereka semakin jelas di mataku, dan rasanya aku tidak ingin mengenalinya. Tapi
tidak dapat dibohongi mereka Vio dan Rene, keduanya tampak sangat akrab –mesra
ku rasa, Vio merangkul pinggang Rene, mereka tampak asyik mengobrol. Sesekali Vio
membisikkan sesuatu ke telinga Rene kemudian Rene tertawa dan Vio tersenyum
dengan cool, sungguh dari gestur
tubuh mereka mengisyaratkan kebahagiaan. Ekspresi Rene menggambarkan saat
seperti Rene diberi empat buah lolipop kuda.
Lambat
laun mereka melangkah, dan –tidak- mereka berjalan ke arah ku, ah! Mengapa aku
yang dibuat salting, batinku. Mereka semakin mendekat dan mendekat, aku
kemudian fokuskan pandangan ke vokalis band yang sedang bernyanyi, seolah tidak
melihat mereka. Namun sepertinya rasa penasaranku sangat membandel kala itu,
pandanganku justru malah berbalik ke arah mereka yang sudah semakin mendekat.
Hingga akhirnya pandanganku bertemu dengannya, awalnya kepada Vio, dan akhirnya
Rene melihatku juga. Aku bisa melihat sedikit kekikukan mereka bertemu denganku
dalam keadaan seperti itu. Namun sedetik kemudian mereka cepat menguasai
keadaan, mereka tetap bersikap tenang –dan tetap merangkul- menyapaku “hai Na,
sendirian?”
“iya, kalian berdua
aja?” kata-kata itu yang reflek terucap.
“iya, tapi kami udah
mau selesai. Maaf ya, kami pulang duluan gak bisa nemenin kamu yang lagi Cloudy. Hehe”
“hehe.. gak usah,
sendiri kayaknya lebih baik”
“ok deh” Lalu mereka
berlalu meninggalkan ku.
Ternyata
benar apa yang dikatakan orang-orang, pikirku. Tapi rasanya memang sulit ku
percaya, aku masih ragu apakah mereka pacaran? Ah rasa penasaranku yang tidak
bersahabat membawaku menguntit mereka sampai ke parkiran. Dan benar saja,
sebenarnya aku antara mengharapkan dan tidak mengharapkan pemandangan seperti
ini, Vio membukakan pintu mobil untuk Rene, kemudian mencium pipi Rene, dan Vio
tersenyum, dan Rene tersenyum lebih lebar dari Vio. Oh Tuhan! Mereka temanku!
Keesokan
harinya aku tidak sengaja bertemu Rene di mini market dekat rumahku. Kejadian
semalam antara Rene dan Vio tentu tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih lagi
mereka berdua adalah temanku. Dan itu membuatku kikuk apabila bertemu dengan
mereka kemudian, terlebih hanya kurang dari 24 jam aku bertemu Rene. Rene
menghampiriku dan menyapaku duluan. “beli apa Na?”
“ni beli mentega,
sendirian?”
“iya nih, emang biasa
sama siapa?”
“Vio” tanpa sadar aku
berucap demikian.
“oh, hehe..” Rene
tertawa kering karena kikuk “kadang suatu hal dateng begitu aja Na”
“maksudnya?”
“orang mungkin bilang
ini gak tepat, tapi hati yang merasakan, semua orang pasti memilih kenyamanan,
kayak lo milih gimana cara nyembah Tuhan. Entah otak gue yang udah salah atau
otak orang yang gak mau diperbaikin”.
Suasana
hening beberapa detik, aku tidak sepenuhnya menyalahkan pelaku apabila ada
suatu penyimpangan yang terjadi. Dan kali ini sungguh aku tidak mau membuat
diriku terlihat menyalahkan hubungan diantara mereka.
“mungkin memang ada
yang harus diperbaiki” jawabku asal untuk memecah keheningan.
Rene hanya tersenyum
menjawab kata-kataku dan kemudian berpamitan.
Jawaban
dari Rene tadi sesungguhnya membuat aku cukup syok, syok karena Rene ku anggap
bicara gamblang tentang apa yang sedang terjadi. Rene berbicara seolah memang
harus terjadi seperti itu. Rene mencantumkan kata “kenyamanan” dan menganalogikan
dengan “memilih Tuhan”. Entah otakku yang salah, atau otaknya yang harus
diperbaiki. Aku memilih untuk pulang saat itu juga, saat aku berjalan ke kasir
untuk membayar, tidak sengaja aku menjatuhkan sebuah toples dan toples itu
menghamburkan isinya karena benturan, ku pungut isi toples itu yang tercecer, tanpa
disangka tenyata isi toples itu adalah empat buah lolipop kuda.
Yogyakarta,
17 Mei 2013