Tuesday, 21 May 2013

20 Menit di Jalanan Jogja


Malam semakin larut, pukul 21.00WIB kiranya aku sampai Yogyakarta setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam dari Semarang karena urusan organisasi. Sungguh melelahkan, ditambah lagi dengan harus berlapang dada menjadi penumpang Bus terakhir, sehingga harus duduk di kursi paling belakang yang sebenarnya bagian mesin yang ditutupi busa tipis. Panas pantat dan hampir muntah rasanya duduk tanpa senderan kepala. Bis Ramayana jurusan Semarang-Yogyakarta pemberangkatan terakhir akhirnya tiba di terminal Jombor.
Sempat bingung harus naik apa, kepala pusing sehingga aku malas naik trans Jogja, teman pun semua pergi dengan kesibukannya masing-masing. Maklum malam minggu. Turun dari bus aku disambut dengan seorang Bapak yang menawarkan jasa ojek, setelah melakukan negosiasi beberapa kali, dan setelah menimbang-nimbang alasan di atas akhirnya ku putuskan naik ojek ke jalan kaliurang dengan membayar ongkos Rp. 30.000.
            AB29X8NU, kendaraan roda dua itu perlahan membawaku meninggalkan terminal bus Jombor. Di jalan, pertama kali Bapak itu menanyakan aku kuliah dimana dan fakultas apa. Fakultas? Aku sempat bingung menjawabnya, mungkin yang dimaksud jurusan, dengan mengambil kesimpulan sendiri bahwa mungkin Bapak itu tidak mengerti beda fakultas dan jurusan maka akhirnya ku sebutkan nama universitasku dan jurusanku. “UII, Teknik Kimia pak”. kami lanjut ngobrol, awalnya membahas mengenai kuliah ku “kenapa kuliah di UII mbak? Gak di UGM?” haha.. Pertanyaan lucu, jawaban umumnya pasti karena tidak diterima di UGM. Tapi jawaban pribadiku sedikit berbeda, “iya pak, saya gak ndaftar di UGM, daftar pun palingan gak keterima.hehe”.
”wah mbak pesimis dulu, harusnya tetap dicoba mbak”.
”enggak sih pak, dulu jurusan dan universitas yang saya pengen bukan di UGM, tapi di Bogor, tapi saya gak keterima waktu snmptn, jadi saya disuruh kuliah di Jogja sama Bapak dengan jurusan teknik kimia, saya turuti saja dan saya pilih UII.”
“oh, semester berapa mbak?”
“4 pak,”
“4 mau ke lima ya?”
“iya pak”
“anak saya sekarang semester 5 mbak”
“oh gak jauh beda sama saya dong pak” dalam hati saya berpikir, hebat juga Bapak ini anaknya kuliah, melihat dari profesinya.
“mbak SPPnya berapa? Sistem paket atau sks?”
Wah Bapak ini ternyata mengerti tentang adanya sistem paket dan sks. “sistem sks pak, ya kurang lebih sekian pak (menyebutkan sejumlah nominal) pak”
“oh lumayan ya mbak, anak saya yang perempuan sih 2,5juta, itupun saya sudah merasa berat.”
“emang anak Bapak kuliah dimana? Jurusan apa pak?”
“farmasi UGM mbak” jleb, keren juga, ternyata Bapak ini punya seorang anak cerdas, batinku.
“wah keren itu pak masuk UGM, kan susah masuk situ”
“iya mbak, dia lewat jaur undangan”
“oh..”
Setelah itu kami banyak berbincang-bincang mengenai dunia perkuliahan, kagumku semakin bertambah kala Bapak ini cerita dia juga punya seorang anak lagi, anak sulungnya, lelaki dan berkuliah di ITB Bandung.
“dia dari SMP sudah dapat hadiah motor dari kepala sekolahnya, karena dapat nilai tertinggi, SMA naik kelas tiga sudah diikutin ujian ke Bandung, eh lolos, jadi dikirim kesana, SMAnya cuma 2tahun. Sekarang dia di Bandung sudah mau lulus Mei 2013 ini, kuliahnya dapet beasiswa dari Sampoerna mbak”
WOW! Rasa kagumku tak tertahankan. “luar biasa pak, Bapak berarti sudah berhasil mendidik dan membesarkan anak-anak Bapak”
“saya cuma membesarkan sebagaimana mestinya mbak, dulu saya  tidak bisa sekolah, saya sekolah hanya sampai kelas 3 SD, setiap hari saya menangis kepada orang tua saya minta di sekolahkan, tapi jawaban beliau hanya ‘”yang bisa sekolah itu hanya anak pak lurah, kamu asal bisa macul aja sudah bisa makan kenyang”’ ada rasa sakit di hati saya mbak, sejak saat itu saya bersumpah pada diri saya sendiri, bahwa saya boleh tidak bisa sekolah, tapi anak-anak saya harus pintar dan sekolah setinggi-tingginya. Ya alhamdulillah sekarang saya punya anak cuma dua, dan keduanya membanggakan bagi saya mbak”
Bapak ini sangat mengispirasi bagi saya, bagaimana tidak, bermula dari dendam terhadap keadaan. Dia bersumpah, dan sekarang sumpah itu hampir menjadi kenyataan.
Rute perjalanan sudah ditempuh lebih dari setengahnya. Kendaraan membawaku berbelok ke jalan raya jalan Kaliurang. Karena saking asyiknya bercerita, hampir saja kami menyenggol mobil Honda keluaran terbaru. “mbak kalo liat mobil bagus-bagus gitu pengen punya gak mbak?”
“pengen lah pak pasti”
“kalo gitu belajar yang bener di Jogja ini, fokus kuliahnya, biar minimal bisa beli mobil yang kayak gitu”
Perbincangan terus berlanjut, terlebih saat Bapak itu mengetahui saya orang Tangerang dan dua bersaudara. Kami pun merasa punya beberapa kemiripan, Bapak itu juga pernah tinggal di Tangerang untuk bekerja dan juga punya dua anak.
“anak saya yang perempuan namanya Cantik mbak, wajahnya sih.. yaa cantik itu kan relatif ya. Kakaknya namanya Rizki, Kiki. Gimana ya, mbak gak akan nyangka itu anak saya, dia mirip ibunya. Saya berani jamin deh 75% mbak akan naksir kalo liat anak sulung saya. Hehe... anak pak lurah saja dibuat kesemsem berat sama dia. Badannya bagus dan hidungnya mancung, yang lebih saya suka dia boso (=hormat) kalo sama orang tua, siapapun. Tapi sayang mbak, dia sudah berjanji dihadapan saya, omnya dan pakdenya bahwa tidak akan menikah sebelum dia lulus S3, saya sih mendukung aja, toh itu baik, buat dia jadi fokus”.
Kagum, kagum, kagum. Kagum semakin berlipat-lipat rasanya sedari tadi aku mendengar cerita Bapak ini. Bapak ini juga bercerita, bahwa dulu dia pernah bekerja di Tangerang dan uang hasil jerih payah kerjanya diinvestasikan menjadi Hotel di jalanan kaliurang. Namun sayang, bencana gunung Merapi 2010 meratakan bangunan Hotel yang baru beroperasi 6 bulan itu. Tidak hanya itu, bencana gunung merapi juga menewaskan 5 saudara kandungnya, dan 8 keponakannya. Kini tersisa 8 keponakannya yang lain yang telah yatim piatu, dan semenjak tragedi gunung meletus itu 8 keponakannya diasuh olehnya “alhamdulillah hotel saya rata dengan tanah mbak, gak pa-pa wong itu kan cuma titipan. Saya malah bersyukur kehilangan hotel dapat ganti 8 anak yang baik-baik”
Bapak ini menunjukkan bagaimana ketabahan hati yang luar biasa, dapat berbesar hati dengan musibah yang diterima, dan justru dapat menghasilkan energi yang menjadikan kekuatan untuk diri dan sekitarnya.
Akhir perjalanan, Bapak luar biasa ini menurunkan ku tepat di depan kosku, dengan tersenyum ku sampaikan “terima kasih pak, terima kasih sudah bercerita yang sangat menginspirasiku “
“ok mbak, jangan lupa belajar yang rajin”
Kemudian Bapak itu berlalu, memasukkan gigi motor dengan sendal jepit yang dikenakannya.

Yogyakarta, 04 Mei 2013

No comments:

Post a Comment