Tuesday, 21 May 2013

Empat Buah Lolipop Kuda


Kali ini agak abstrak memang. Agak bingung untuk menceritakannya, ini cerita tentang orang yang ku kenal. Mungkin bisa langsung saja ku mulai. Kali itu, bulan Maret beberapa tahun silam, menjadi anggota baru disebuah perkumpulan tentu akan menambah teman. Dan perkumpulan itu membawaku pada perkenalan oleh beberapa orang, dua diantaranya yaitu Rene dan Vio.
Sesungguhnya aku sudah ‘pernah’ mengenal Vio sebelumnya, tidak akrab memang. Dia hanya teman dari seorang teman baikku, dan kami pernah bertemu beberapa kali. Kesan pertama ku saat bertemu dengan Vio kala itu yaitu –tidak begitu berkesan- biasa saja. Tapi memang ada hal yang menarik dari Vio, dia seorang wanita yang berdandan dominan laki-laki. Namun hal itu tidak terlalu membuatku terkesan, aku sudah sering melihat penampilan wanita seperti itu sebelumnya. Dan Rene, sungguh orang baru bagiku, cukup eksentrik ku rasa. Selain itu dia orang yang mudah tersenyum kepada siapa saja, hanya saja dia memiliki pandangan yang sinis. Jadi sungguh kontras antara bibir dan matanya.
Vio orang yang berambut pendek tentu, bertinggi badan sedang. Kulit sawo matang dan pawakan badannya yang padat, menambah kesan kelelakiannya. Sedangkan Rene, seorang gadis biasa dengan paras lembut dan mata yang khas.
Sebenarnya awalnya kami berkenalan di ‘perkumpulan’ hanya untuk basa-basi. Karena akan aneh rasanya bila dalam satu ‘perkumpulan’ namun kami tidak saling mengenal, minimal tahu nama. Tapi meskipun kami tidak terlalu akrab beberapa kali kami pernah jalan bareng bertiga di luar urusan ‘perkumpulan’, Rene dan Vio cukup seru bagiku untuk ukuran penghuni ‘perkumpulan’ ilmiah semacam itu.
Rene dan Vio ku lihat memang lebih akrab daripada aku dan Rene atau aku dan Vio. Walau mereka pernah beberapa kali terlihat bertengkar, namun aku tahu sesungguhnya mereka sahabat cukup akrab dan cocok, kukira. Pernah sewaktu aku ke kantin hanya berdua dengan Rene, Rene bercerita tentang Vio yang selalu menyebalkan saat ditanya mengenai materi diskusi, dan itu membuatnya marah. Dikesempatan yang lain Rene juga pernah bercerita mengenai Vio yang tukang tidur dan itu menurutnya lucu, tentu Rene bercerita sambil tertawa. Di lain sisi Vio pernah ku lihat membating botol saat Rene mengejeknya dengan suara keras. Dan diwaktu yang lain Vio pernah membelikan Rene empat lolipop gambar kuda karena tau Rene sangat menyukai kuda. Sangat aneh memang mereka, aku hanya bisa membatin dalam hati mengenai tingkah mereka. Persahabatan memang lucu, kadang bertengkar dan kadang akur, kadang membawa kita kembali seperti anak-anak dan dilain waktu membuat kita berpikir dewasa. Bagiku mereka sebenarnya sungguh sahabat yang sejati.
Hari lain di pertemuan ‘perkumpulan’ aku tidak melihat Rene dan Vio, ah mungkin mereka sengaja bolos. Maklum saja mereka berdua bukan tipe orang yang rajin dan terlihat rajin, mereka sudah cukup pintar walau melewatkan beberapa kali mentoring.
“eh Rene Vio gak dateng ya?” tanya Devi, salah seorang anggota ‘perkumpulan’ padaku.
“iya kayaknya”
“apa mereka pergi kencan?” tanya Ghean menyambung pertanyaan Devi.
Kencan? Kata kencan cukup menggelitik bagiku.
“entahlah. Hehe” jawabku geli.
“mereka pacaran ya?” Ghean menyambung pertanyaannya.
“pacaran?” ku pastikan pertanyaannya. Aneh rasanya, bukannya mereka perempuan? Walau Vio terlihat seperti lelaki namun aku tidak pernah berpikir bahwa Vio seorang lesbian. Agak tersinggung sebenarnya aku kala mendapat pertanyaan dari Ghean, karena aku merasa cukup dekat dengan mereka.
“iya, kamu kan cukup akrab sama dia, kok gak tau sih?”
“emang kamu tau darimana?”
“harusnya kau tau darimana, kalau kamu peka” lalu mereka berdua meninggalkanku sendiri.
Pacaran? Ku cerna lagi kalimat itu, tidak menutup kemungkinan seorang manusia mengalami penyimpangan. Tapi aku tidak berpikir ke mereka, aku mengira mereka sahabat. Dan mereka sahabat yang sangat kompak. Sungguh kasihan mereka berdua, hanya karena Rene dekat dengan Vio yang seperti lelaki, mereka dikira lesbi. Sekitar memang terkadang kejam, bicara tanpa difilter.
Beberapa minggu terakhir tidak diadakan pertemuan ‘perkumpulan’ karena bertepatan dengan hari libur panjang, sekolah pun otomatis juga libur. Maka hari-hari ini adalah hari bebas, bebas bermain, nongkrong, tiduran atau yang lainnya. Maka malam ini ku putuskan untuk nongkrong dengan memesan segelas vanilla late sambil menonton pertunjukan musik band ternama. Tempat ini memang biasa menyuguhkan performa-performa dari band-band terkenal, tidak dipungut biaya, dan tidak juga banyak orang berdesakan untuk menontonnya walau pertunjukan ini menampilkan band terkenal, tempat ini seperti telah berhasil mengubah gaya hidup anak muda yang kebanyakan cenderung alay. Disini semua orang seolah diajarkan berperilaku elegan, cukup duduk manis memesan minuman/makanan yang lumayan mahal sambil menikmati alunan musik dari sang bintang atau kalau kau ingin sekadar ngobrol dengan teman. Dan malam itu aku memilih pergi sendirian.
Ditengah-tengah lamunanku memperhatikan orang lalu lalang, tiba-tiba aku dikagetkan oleh dua orang berjalan dengan saling merangkul. Sepertinya aku kenal, tapi tidak, wajah mereka semakin jelas di mataku, dan rasanya aku tidak ingin mengenalinya. Tapi tidak dapat dibohongi mereka Vio dan Rene, keduanya tampak sangat akrab –mesra ku rasa, Vio merangkul pinggang Rene, mereka tampak asyik mengobrol. Sesekali Vio membisikkan sesuatu ke telinga Rene kemudian Rene tertawa dan Vio tersenyum dengan cool, sungguh dari gestur tubuh mereka mengisyaratkan kebahagiaan. Ekspresi Rene menggambarkan saat seperti Rene diberi empat buah lolipop kuda.
Lambat laun mereka melangkah, dan –tidak- mereka berjalan ke arah ku, ah! Mengapa aku yang dibuat salting, batinku. Mereka semakin mendekat dan mendekat, aku kemudian fokuskan pandangan ke vokalis band yang sedang bernyanyi, seolah tidak melihat mereka. Namun sepertinya rasa penasaranku sangat membandel kala itu, pandanganku justru malah berbalik ke arah mereka yang sudah semakin mendekat. Hingga akhirnya pandanganku bertemu dengannya, awalnya kepada Vio, dan akhirnya Rene melihatku juga. Aku bisa melihat sedikit kekikukan mereka bertemu denganku dalam keadaan seperti itu. Namun sedetik kemudian mereka cepat menguasai keadaan, mereka tetap bersikap tenang –dan tetap merangkul- menyapaku “hai Na, sendirian?”
“iya, kalian berdua aja?” kata-kata itu yang reflek terucap.
“iya, tapi kami udah mau selesai. Maaf ya, kami pulang duluan gak bisa nemenin kamu yang lagi Cloudy. Hehe”
“hehe.. gak usah, sendiri kayaknya lebih baik”
“ok deh” Lalu mereka berlalu meninggalkan ku.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang, pikirku. Tapi rasanya memang sulit ku percaya, aku masih ragu apakah mereka pacaran? Ah rasa penasaranku yang tidak bersahabat membawaku menguntit mereka sampai ke parkiran. Dan benar saja, sebenarnya aku antara mengharapkan dan tidak mengharapkan pemandangan seperti ini, Vio membukakan pintu mobil untuk Rene, kemudian mencium pipi Rene, dan Vio tersenyum, dan Rene tersenyum lebih lebar dari Vio. Oh Tuhan! Mereka temanku!
Keesokan harinya aku tidak sengaja bertemu Rene di mini market dekat rumahku. Kejadian semalam antara Rene dan Vio tentu tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih lagi mereka berdua adalah temanku. Dan itu membuatku kikuk apabila bertemu dengan mereka kemudian, terlebih hanya kurang dari 24 jam aku bertemu Rene. Rene menghampiriku dan menyapaku duluan. “beli apa Na?”
“ni beli mentega, sendirian?”
“iya nih, emang biasa sama siapa?”
“Vio” tanpa sadar aku berucap demikian.
“oh, hehe..” Rene tertawa kering karena kikuk “kadang suatu hal dateng begitu aja Na”
“maksudnya?”
“orang mungkin bilang ini gak tepat, tapi hati yang merasakan, semua orang pasti memilih kenyamanan, kayak lo milih gimana cara nyembah Tuhan. Entah otak gue yang udah salah atau otak orang yang gak mau diperbaikin”.
Suasana hening beberapa detik, aku tidak sepenuhnya menyalahkan pelaku apabila ada suatu penyimpangan yang terjadi. Dan kali ini sungguh aku tidak mau membuat diriku terlihat menyalahkan hubungan diantara mereka.
“mungkin memang ada yang harus diperbaiki” jawabku asal untuk memecah keheningan.
Rene hanya tersenyum menjawab kata-kataku dan kemudian berpamitan.
            Jawaban dari Rene tadi sesungguhnya membuat aku cukup syok, syok karena Rene ku anggap bicara gamblang tentang apa yang sedang terjadi. Rene berbicara seolah memang harus terjadi seperti itu. Rene mencantumkan kata “kenyamanan” dan menganalogikan dengan “memilih Tuhan”. Entah otakku yang salah, atau otaknya yang harus diperbaiki. Aku memilih untuk pulang saat itu juga, saat aku berjalan ke kasir untuk membayar, tidak sengaja aku menjatuhkan sebuah toples dan toples itu menghamburkan isinya karena benturan, ku pungut isi toples itu yang tercecer, tanpa disangka tenyata isi toples itu adalah empat buah lolipop kuda.

Yogyakarta, 17 Mei 2013

2 comments:

  1. Kucluk, Asyik baca cerita lo yang ini.
    ahaha...
    Jangan2 itu lo ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. giliran cerita beginian aja lo seneng!
      iya gue pihak ke 3.
      based on true story semua :)

      Delete