Aku termasuk orang yang
cukup beruntung dalam menjalani hidup, bagaimana tidak, aku pernah menghabiskan
masa kecilku dengan tinggal di sebuah desa berjarak 17km dari pusat kabupaten
di pesisir utara Jawa. Kala itu aku hidup terpisah dengan orang tuaku, tumbuh
dewasa bersama nenek, kakek dan saudara-saudaraku.
Hidup di desa seperti itu memungkinkan kita mendapat
pengalaman yang berbeda seperti orang kebanyakan, dalam hal ini teman-teman ku
sekarang yang biasa menghabiskan masa kecilnya dengan permainan timezone. Aku bermain kesana kemari,
berjalan kaki berkilo-kilo meter demi mencuri tebu di ladang milik BUMN, atau
sekadar mencari buah kecacil yang
hanya tumbuh dan berbuah di punden (makam keramat). Aku juga terbiasa bermain
ke hutan pohon Sono, tak heran karena aku mempunyai beberapa teman yang
bermukim disana, salah satunya yaitu Maria.
Aku dan Maria, sebenarnya kami tidak cukup akrab. Dia
kakak kelasku 3 tahun waktu aku kelas 1, dan akhirnya kami sekelas pada saat
aku kelas 5. Tentu umurnya lumayan jauh lebih tua dari aku. Di sekolahan ku,
tidak aneh rasanya orang berusia 15 tahun duduk di kelas 5SD, salah satunya
adalah Maria. Namun begitu, beberapa kali aku pernah berkunjung ke rumahnya,
untuk mampir bermain tentunya, biasanya aku meminta segelas air kendi untuk
menghilangkan rasa dahagaku padanya selepas aku bermain di hutan bersama kawan
yang lain.
Keluarga Maria termasuk kategori keluarga yang sangat
miskin, sehari-harinya keluarganya hidup dari penghasilan ayahnya sebagai buruh
serabutan, dan anggota keluarga yang lain sebagai pencari kayu bakar di hutan.
Maria merupakan anak tertua di keluarganya, dia masih memiliki seorang adik
lelaki yang usianya setahun lebih muda darinya yang saat itu juga kelas 5.
Sebenarnya adiknya tidak hanya seorang, banyak kurasa -sejauh aku menghitungnya-.
Namun desakan ekonomi yang parah yang menyebabkan beberapa adiknya harus
terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya, ya seperti itulah gosip yang ku dengar
sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya gosip, aku tau pasti
karena aku pernah menyaksikan sendiri.
Di sebuah rumah yang lebih mirip gubuk reyot beralaskan
tanah, saat itu sore hari, aku ingat udara kala itu lembab karena musim
penghujan. Rumah itu cukup ramai didatangi warga sekitar. Aku penasaran,
sehingga aku memutuskan berhenti bermain singkongan
dan mendatangi sumber keramaian dengan beberapa temanku yang lain. Setiba
di dalam rumah itu aku melihat ada bayi yang tampaknya sudah cukup lama
menangis, karena tampaknya si bayi sudah mulai kehabisan suara. Rupanya bayi
itu adalah adik Maria yang baru saja dilahirkan ibunya, di dekat situ masih ada
dukun bayi yang membantu selama persalinan berlangsung. Ibu Maria yang masih
berwajah lesu duduk di dipan beralaskan tikar dengan menggendong bayinya, disebelah
kirinya ada suaminya yang berdiri didekatnya, dan di kanan ibu Maria ada
seorang wanita yang sedang duduk di kursi berusia 30 tahun-an dengan dandanan
yang menor dan dan berbaju motif bunga-bunga yang agak norak. Tepat di depan
mataku, aku melihat ibu Maria menyerahkan anak itu ke wanita menor tersebut, si
wanita menor itu menyambut bayi itu dengan wajah yang jelas menggambarkan suka
cita. Jelas diingatanku wanita menor itu berkata “ini anakku, anakku yang
cantik, kau adalah anakku”. Sempat aku tidak dapat mencerna kata-katanya dengan
otak polosku ini, tapi sedetik kemudian aku langsung mengerti, ternyata aku
baru saja melihat seorang bayi “berganti” ibu tepat di depan mataku.
Orang-orang disekelilingku, yang umumnya adalah wanita dan anak-anak kemudian bertepuk
tangan riuh setelah wanita menor itu mengucap demikian, seolah menyoraki
pemenang dari hasil lomba balap karung. Dengan etika orang desa yang terbiasa
ceplas-ceplos, para wanita-wanita saksi transaksi jual beli bayi pun tak dapat
menahan rasa keingintahuannya yang sangat tidak bermoral “dibayar berapa jeng?”
“dapet berapa jeng?” berbagai pertanyaan serupa diutarakan di depan umum kepada
ibu Maria. Ibu Maria hanya bisa senyum menjawabnya. Namun si wanita menor ini
sungguh kelihatan sekali dia itu sok kaya, dengan ekspresi masih bahagia
menggendong si bayi, wanita itu justru yang menjawab “dua juta”
“waahh.. mahal juga ya,
yang kemarin satu juta, sekarang naik” komentar-komentar seperti itulah yang
umumnya diutarakan oleh wanita-wanita tersebut. Mereka berkomentar seolah-olah
menjual anak adalah bisnis yang menarik, karena hanya bermodal punya pasangan
dan tenaga.
Berumah tangga tanpa KB membuat ibu Maria menjadi wanita
yang produktif. Dan memang sudah beberapa kali ibu Maria menjual anak-anak
bayinya, tentunya hal itu dilakukan tidak sesuai hati nuraninya, hati nuraninya
pasti berkeinginan sebaliknya. Tapi apa mau dikata, kemiskinan tidak hanya
membuat orang tidak punya uang, kemiskinan juga membuat orang tidak punya
pilihan. Demi mempertahankan kehidupan dirinya dan anak-anaknya yang lain, ibu
Maria rela menjual bayi-bayinya kepada orang lain, dengan harapan bahwa bayinya
kelak dapat tumbuh dikeluarga lain dan menjadi orang yang lebih beruntung
daripadanya. Tentu bayi-bayi itu adalah malaikat yang sesungguhnya bagi
keluarga Maria, malaikat yang sungguh suci, malaikat yang memberi perpanjangan
kehidupan untuk keluarga yang melahirkannya.
Yogyakarta 13 Mei 2013
No comments:
Post a Comment