Tuesday, 21 May 2013

Sebuah Keluarga di Pesisir Utara Jawa

Aku termasuk orang yang cukup beruntung dalam menjalani hidup, bagaimana tidak, aku pernah menghabiskan masa kecilku dengan tinggal di sebuah desa berjarak 17km dari pusat kabupaten di pesisir utara Jawa. Kala itu aku hidup terpisah dengan orang tuaku, tumbuh dewasa bersama nenek, kakek dan saudara-saudaraku.
            Hidup di desa seperti itu memungkinkan kita mendapat pengalaman yang berbeda seperti orang kebanyakan, dalam hal ini teman-teman ku sekarang yang biasa menghabiskan masa kecilnya dengan permainan timezone. Aku bermain kesana kemari, berjalan kaki berkilo-kilo meter demi mencuri tebu di ladang milik BUMN, atau sekadar mencari buah kecacil yang hanya tumbuh dan berbuah di punden (makam keramat). Aku juga terbiasa bermain ke hutan pohon Sono, tak heran karena aku mempunyai beberapa teman yang bermukim disana, salah satunya yaitu Maria.
            Aku dan Maria, sebenarnya kami tidak cukup akrab. Dia kakak kelasku 3 tahun waktu aku kelas 1, dan akhirnya kami sekelas pada saat aku kelas 5. Tentu umurnya lumayan jauh lebih tua dari aku. Di sekolahan ku, tidak aneh rasanya orang berusia 15 tahun duduk di kelas 5SD, salah satunya adalah Maria. Namun begitu, beberapa kali aku pernah berkunjung ke rumahnya, untuk mampir bermain tentunya, biasanya aku meminta segelas air kendi untuk menghilangkan rasa dahagaku padanya selepas aku bermain di hutan bersama kawan yang lain.
            Keluarga Maria termasuk kategori keluarga yang sangat miskin, sehari-harinya keluarganya hidup dari penghasilan ayahnya sebagai buruh serabutan, dan anggota keluarga yang lain sebagai pencari kayu bakar di hutan. Maria merupakan anak tertua di keluarganya, dia masih memiliki seorang adik lelaki yang usianya setahun lebih muda darinya yang saat itu juga kelas 5. Sebenarnya adiknya tidak hanya seorang, banyak kurasa -sejauh aku menghitungnya-. Namun desakan ekonomi yang parah yang menyebabkan beberapa adiknya harus terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya, ya seperti itulah gosip yang ku dengar sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya gosip, aku tau pasti karena aku pernah menyaksikan sendiri.
            Di sebuah rumah yang lebih mirip gubuk reyot beralaskan tanah, saat itu sore hari, aku ingat udara kala itu lembab karena musim penghujan. Rumah itu cukup ramai didatangi warga sekitar. Aku penasaran, sehingga aku memutuskan berhenti bermain singkongan dan mendatangi sumber keramaian dengan beberapa temanku yang lain. Setiba di dalam rumah itu aku melihat ada bayi yang tampaknya sudah cukup lama menangis, karena tampaknya si bayi sudah mulai kehabisan suara. Rupanya bayi itu adalah adik Maria yang baru saja dilahirkan ibunya, di dekat situ masih ada dukun bayi yang membantu selama persalinan berlangsung. Ibu Maria yang masih berwajah lesu duduk di dipan beralaskan tikar dengan menggendong bayinya, disebelah kirinya ada suaminya yang berdiri didekatnya, dan di kanan ibu Maria ada seorang wanita yang sedang duduk di kursi berusia 30 tahun-an dengan dandanan yang menor dan dan berbaju motif bunga-bunga yang agak norak. Tepat di depan mataku, aku melihat ibu Maria menyerahkan anak itu ke wanita menor tersebut, si wanita menor itu menyambut bayi itu dengan wajah yang jelas menggambarkan suka cita. Jelas diingatanku wanita menor itu berkata “ini anakku, anakku yang cantik, kau adalah anakku”. Sempat aku tidak dapat mencerna kata-katanya dengan otak polosku ini, tapi sedetik kemudian aku langsung mengerti, ternyata aku baru saja melihat seorang bayi “berganti” ibu tepat di depan mataku. Orang-orang disekelilingku, yang umumnya adalah wanita dan anak-anak kemudian bertepuk tangan riuh setelah wanita menor itu mengucap demikian, seolah menyoraki pemenang dari hasil lomba balap karung. Dengan etika orang desa yang terbiasa ceplas-ceplos, para wanita-wanita saksi transaksi jual beli bayi pun tak dapat menahan rasa keingintahuannya yang sangat tidak bermoral “dibayar berapa jeng?” “dapet berapa jeng?” berbagai pertanyaan serupa diutarakan di depan umum kepada ibu Maria. Ibu Maria hanya bisa senyum menjawabnya. Namun si wanita menor ini sungguh kelihatan sekali dia itu sok kaya, dengan ekspresi masih bahagia menggendong si bayi, wanita itu justru yang menjawab “dua juta”
“waahh.. mahal juga ya, yang kemarin satu juta, sekarang naik” komentar-komentar seperti itulah yang umumnya diutarakan oleh wanita-wanita tersebut. Mereka berkomentar seolah-olah menjual anak adalah bisnis yang menarik, karena hanya bermodal punya pasangan dan tenaga.
            Berumah tangga tanpa KB membuat ibu Maria menjadi wanita yang produktif. Dan memang sudah beberapa kali ibu Maria menjual anak-anak bayinya, tentunya hal itu dilakukan tidak sesuai hati nuraninya, hati nuraninya pasti berkeinginan sebaliknya. Tapi apa mau dikata, kemiskinan tidak hanya membuat orang tidak punya uang, kemiskinan juga membuat orang tidak punya pilihan. Demi mempertahankan kehidupan dirinya dan anak-anaknya yang lain, ibu Maria rela menjual bayi-bayinya kepada orang lain, dengan harapan bahwa bayinya kelak dapat tumbuh dikeluarga lain dan menjadi orang yang lebih beruntung daripadanya. Tentu bayi-bayi itu adalah malaikat yang sesungguhnya bagi keluarga Maria, malaikat yang sungguh suci, malaikat yang memberi perpanjangan kehidupan untuk keluarga yang melahirkannya.

Yogyakarta 13 Mei 2013

No comments:

Post a Comment