Sunday, 1 January 2023

Bintang Jatuh

Angin terasa sejuk malam itu. Berembus lirih namun mampu mengibarkan helai-helai rambut sepanjang punggung. Rambut yang berwarna hitam pekat, menyatu dengan gelapnya malam hari itu.

Ia berdiri memandang langit, berharap ada bintang jatuh. Doanya hanya satu, ia ingin diberi keberanian sekali saja dalam hidupnya. Walau hanya beberapa detik ia ingin merasakan keberanian. Entah berapa banyak hal yang ia sia-siakan, pun kepedihan yang terpaksa ia rasakan, akibat dari keberanian yang tidak ia miliki.

Ia masih berdiri tegak, sedikit mendongak ke arah langit, tatapannya nanar namun bola matanya bergerak lambat mengamati pergerakan bintang. Tak kunjung ada yang jatuh.

Tak seperti biasanya malam itu gemerlap lampu ibu kota seolah sedang tertelan, langit terlihat sangat kelam, menampakkan bintang-bintang dengan begitu jelasnya. Bising suara klakson dan mesin kendaraan pun tidak banyak terdengar seolah mendukung suasana sendu malam itu.

Setelah beberapa waktu bola matanya bergerilya mencari bintang jatuh, sekelebat di arah timur laut dari pandangannya bintang dengan cahaya redup terlihat bergerak hingga kemudian turun cepat menyisakan kilatan kemudian menghilang di cakrawala. Akhirnya ada satu bintang jatuh yang terlihat. Segera ia ucapkan doa yang sangat ingin dipanjatkannya. “ya Tuhan beri aku keberanian” ucapnya dengan sangat yakin namun pelan.

Seketika itu bak doa seorang mulia, doanya seperti langsung dikabulkan. Tubuhnya yang masih berdiri di tempat yang sama seperti ada energi ringan yang mengalir, tubuhnya yang semula kedinginan lalu perlahan terasa hangat, kemudian menjadi bersemangat, jantungnya berdetak lebih tenang namun hatinya mantap. “oh ini rasanya keberanian” batinnya. Perasaan yang mengikuti setelahnya adalah haru dan suka cita, ia begitu senang keinginannya terkabul. Akhirnya untuk pertama kali dalam usianya ia merasakan keberanian.

Dengan mantap ia langkahkan kakinya maju, pelan tapi pasti. 

Satu langkah,

dua langkah, semakin mendekati tepi, 

hingga langkah ketiga kedua telapak kakinya sudah berada di bibir lantai loteng tanpa pembatas. Tinggal satu langkah lagi ia berhasil membuktikan bahwa dalam hidupnya dirinya pernah memiliki keberanian.

Satu langkah terakhir dengan mantap ia lakukan.

.

.

.

Halaman gedung setinggi 18 lantai yang beraspal mendadak ramai dikerumuni orang, beberapa teriak histeris, beberapa berusaha mencari pertolongan, dan sebagian besar lainnya sengaja saling berdesak untuk mendekati sumber kerumunan, walau di dekat kaki-kaki mereka terdapat cairan merah pekat yang terus mengalir.

 

Jakarta, 01 Januari 2023

Thursday, 28 April 2022

Perspektif

Sepasang kekasih pelan menyusuri pedestrian di bilangan distrik termegah di ibu kota, tampak lelah.

Para eksekutif muda itu sedang berjalan pulang, menggunakan sisa-sisa energi yang seharian dicurahkan untuk bekerja. Sambil saling mengeluh karena hari ini terasa sibuk, seperti biasa. Perjalanan menuju rumah yang masih 1.5 jam seolah menambah alasan untuk mereka mengeluh.

Datang dari sisi depan seorang lelaki berusia senja yang menghampiri sepasang kekasih tersebut.

Diamatinya kakek tersebut oleh si sepasang kekasih : berkemeja lusuh, bersandal slop yang juga tampak usang, tangannya yang terlihat kasar seolah menunjukkan bahwa kakek ini telah bekerja keras dalam waktu yang lama. Ada perasaan iba yang tiba-tiba muncul. Perasaan belas kasih karena menemukan kenyataan bahwa selarut ini ada lelaki tua yang belum berisirahat.

Masih dalam prasangka iba, ternyata dengan lambat kakek itu justru menghampiri, membuat muda mudi tersebut menghentikan langkah kaki mereka.

“dek, sekarang jam berapa?” tanya kakek tersebut dengan lirih.

Butuh tiga detik untuk menyadari bahwa pertanyaan tersebut ditujukan pada mereka, si sepasang kekasih.

Setelah melihat jam tangan, si lelaki menjawab “jam sepuluh lewat sepuluh menit pak”

Dengan mata berbinar dan senyuman yang sunguh terlihat bersyukur si kakek menjawab, “terima kasih ya dek”

---

---

Waktu sudah mengisyaratkan lewat malam, ditandai dengan jalanan pusat ibu kota nan gemerlap yang mulai sepi.

Bapak Ali panggilannya, hari ini Bapak Ali pulang lebih malam dari biasanya. Dagangan mainan anak-anak yang dibawa hari ini laris manis, tidak menyisakan satu pun. Sehingga hanya pulang dengan membawa tas kain besar yang sudah dilipatnya.

Pak Ali sempat mampir ke masjid sekitar untuk beribadah dan berdoa sebagai rasa syukurnya hari ini. Dilanjutkan dengan rehat sejenak sembari menghitung hasil penjualannya. Sebagian dimasukkan ke kotak amal. Merasa tentram.

Sengaja Pak Ali pulang agak malam untuk menghindari sesaknya Bus antar kota yang akan mengantarkannya pulang ke kediamannya di bilangan pinggiran ibu kota.

Berjalan ke arah halte Bu, Pak Ali melihat seorang perempuan dan lelaki muda yang tampak lelah dengan wajah muram. Melihat kedua pemuda tersebut mengingatkan pada anak bungsu Pak Ali yang sebaya dengannya. Ingin sekali Pak Ali menghiburnya, berharap sedikit meredakan lelah mereka.

Walau ragu-ragu namun Pak Ali dengan sengaja menghampiri mereka. Berniat memastikan bahwa mereka baik-baik saja. Namun bingung berbicara menentukan topik apa yang cocok agar muda mudi tersebut sedikit mengalihkan keletihannya.

Semakin dekat ia berjalan, dalam pandangan kabur karena usia, ia akhirnya berujar,

“Sekarang jam berapa?” bukan kalimat penghiburan, justru kalimat tanya itu yang spontan terucap.

“jam sepuluh lewat sepuluh, Pak” kata si lelaki menjawab dengan senyum yang terlihat sangat diusahakan.

Pak Ali tidak sanggup melanjutkan obrolan lagi, sadar bahwa mereka sudah di penghujung kesadaran saking lelahnya. Dengan senyum penuh simpati Pak Ali mengucap terima kasih, sambil dalam hati mendoakan semoga mereka selalu bahagia.

 

Jawa Barat, 29 April 2022

Sunday, 17 April 2022

Susana

 

Angin malam berdesir menerpa tubuhku yang duduk di sadel penumpang ojek daring, merambah kulit, cocok sebagai pelengkap muram hariku.

‘ah kenapa terjadi lagi, kapan kesenangan datang?’ batinku.

Aku dalam perjalanan pulang yang terburu-buru setelah mendapat kabar bahwa kucing kami -yang merupakan kesayangan adik ku- mati mendadak tertabrak kendaraan di depan rumah.

Perjalanan sekitar 45 menit sangat cukup untuk mereka ulang perjalanan hidup beberapa bulan terakhir. Kukira hatiku sudah kokoh untuk menghadapi perpisahan, setelah kepergian beruntun dalam beberapa waktu terakhir, ternyata tetap pedih juga saat ada perpisahan kembali, batinku.

Dialog dalam otak terus bergulir, mencari-cari kenangan akan kejadian menyenangkan yang setidaknya setara dengan separuh memori atas kesedihan yang dihadirkan. Tidak ada.

Waktu berlalu, aku tiba di rumah. Menemui aura kesedihan, kembali.

---

-Suatu kota di pinggiran Ibu Kota, awal tahun 2018-

Pagi itu sangat sibuk, total sudah 6 setel baju kucoba. Ibuku meneriakiku untuk segera memutuskan pakaian mana yang akan aku gunakan untuk menghadiri gladi resik pelantikan karyawan baru.

“Cepat pilih! Kamu anakku, jelas cantik memakai apapun. Temanmu sudah lapar menunggumu untuk sarapan!” Teriak ibuku dari area meja makan.

Temanku yang dimaksud yaitu Susana, gadis lugu nan ayu dari suku Jawa, teman seperjuangan sejak awal kuliah Sarjana di Yogyakarta. Dari kemarin ia menginap di rumahku, yang alasannya -secara mengejutkan- adalah karena ia juga baru diterima bekerja di Jakarta. Tentu itu mengejutkan. Setelah lulus kuliah kami pulang ke kampung masing-masing, terpisah jarak 405.5 KM, 8 jam perjalanan darat. Namun setelah beberapa tahun berpisah, patner dalam segala hal selama hidupku di Yogyakarta itu, mengabariku bahwa akhirnya mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta Selatan. Sama dengan lokasi kantor baruku kelak, di waktu yang bersamaan dengan pekerjaan baruku juga. Seperti ditakdirkan!

Suara mesin mobil sudah terdegar dari depan rumahku. Menandakan seseorang yang akan mengantarku ke kantor baru sudah tiba menjemput. Cepat-cepat kumakan sepotong roti bakar buatan Ibuku, nikmat sekali.

Awal hariku sudah terasa indah, ibuku sedari pagi tersenyum kala memandangiku. Sama antusiasnya denganku menyambut pekerjaan baru yang begitu aku inginkan. Ditambah aku sarapan dikelilingi orang-orang yang ku cintai.

Setelah salim kepada orang tua dan adikku, serta mengucapkan salam, aku dan Susana masuk menaiki mobil penjemputku.

“Selamat pagi, selamat atas pekerjaan barumu” kata seorang yang akan menahkodai perjalan ke kantorku, memulai percakapan. Kuucapkan terima kasih sebagai balasan.

Di sepanjang jalan aku dan Susana banyak berbicara, melanjutkan obrolan kita yang belum selesai dari hari kemarin sejak kedatangannya. Bak percakapan sepasang kekasih yang sedari lama sudah dirindukan.

Tempat tujuan sudah hampir tiba, obrolanku dengan Susana hening sejenak, sigap bersiap karena kendaraan yang kami tumpangi sudah hampir sampai tujuan.

Sesaat sebelum aku turun dari kendaraan tersebut, dalam sela waktu keheningan terlintas pikiran: indahnya hari ini, hari dimana aku memulai kerja kembali dengan pekerjaan baru yang diidamkan, setelah menganggur beberapa bulan. Hari dimana diawali dengan sarapan buatan ibu yang tiada hentinya tersenyum untukku, dan di hari spesial ini sahabatku hadir ikut mengantarkanku, kemudian menungguku di mall terdekat, sembari aku menyelesaikan gladi resikku. Aku menoleh ke belakang kursi penumpang, memandangi sahabatku itu, tersenyum, sungguh lengkap kebahagiaanku. Terima kasih Tuhan, batinku.

---

---

Nada dering default alarm ponsel ku berbunyi, aku terbangun di Minggu pagi.

Hari ini aku dan adikku masih berduka karena kematian kucing kami semalam, namun duka kami hindari dengan tidak membahas apa-apa yang berkaitan dengan kematian kucing kami. Adikku mengalihkan kesedihan dengan bermain game komputer. Sedangkan aku, mengalihkan kesedihan dengan membuat video dan merangkai kata, hari ini temanku ulang tahun, setidaknya aku harus memberikan ucapan padanya.

Kucari-cari foto kenangan kami sewaktu kuliah hingga yang terbaru, dari semenjak di Yogyakarta hingga di Jakarta, kukumpulkan kemudian memasukkan dalam satu folder di handphone yang kuberi nama “Ultah Susana”, hendak aku jadikan bahan untuk membuat video kompilasi dari foto-foto sebagai ucapan atas ulang tahunnya.

Bak roll film yang terputar mundur, melihat foto-fotoku dengan Susana menyajikan kaleidoskop kebahagiaan yang kala ini sering terlupa.

Memang benar, kebahagiaan itu hadir justru saat tidak dicari. Saat kupilah-pilah foto-fotoku dengan Susana, aku teringat momen suatu pagi, di hari pertamaku bekerja. Bunga-bunga di hatiku waktu itu masih jelas terasa saat aku mengingatnya. Indah.

Aku tersenyum riang, hari ini aku mendapat kebahagiaan yang tidak sengaja ditemukan. Aku bersyukur ia dilahirkan, karena setidaknya pada ulang tahunnya yang ke 28 hari ini, aku dapat tersenyum karena bahagia, terhibur atas kenangan bersamanya.

Dalam hati kuucapkan, selamat ulang tahun Susana. Semoga kebahagiaan-kebahagiaan yang kamu berikan kepadaku, juga senantiasa kamu rasakan.

17 April 2022, 23.00 WIB.


Thursday, 19 November 2015

Pengalaman di Kampung Inggris, Pare, Kediri. Seru Banget Berasa Keliling Dunia!

Hai, udah lama gak jumpa. Kali ini mood aku lagi pengen nulis dengan bahasa yang ringan dan sederhana. Kayaknya lebih mudah dipahami dan lebih enak aja gitu. Ok, udahan basa-basinya. Jadi kali ini aku akan nyeritain pengalaman selama ada di kampung Inggris, Pare, Kediri. Sebenernya banyak sih cerita yang pengen aku sajiin di blog yang udah lumutan ini, secara udah lama banget gitu kan aku udah mulai gak nulis lagi. Tapi ntar deh next time ya. Oh ya, cerita kali ini sumbernya asli dari aku, alias bukan cerita titipan.

Tanggal 29 Agustus 2015 kemarin akhirnya aku lulus kuliah dan berhak menyandang gelar S.T. alias Sarjana Teknik. Yihuuuuyyy engineer nih yee setelah jungkir balik setengah mati ngerjain skripsi (kapan-kapan pasti akan aku tulis pengalaman ngerjain skripsi), engineer secara akademis tapi, secara profesionalnya belum. Doain ya.

Kok malah nyeritain wisuda kamu sih? kamu mau takabur apa gimana nih? Hehe.. enggak kok enggak, itu ada hubungannya. Ceritanya belum selesai (ya iyalah, mulai aja belum). Jadi setelah aku wisuda bulan Agustus itu, sebagai pengangguran yang (ingin) berkualitas, aku mau mengupgrade kemampuan bahasa asingku, khususnya bahasa Inggris. Secara bahasa Inggris aku itu ancuuurr banget, sumpah gak boong. Gak tau kenapa aku ngerasa bego aja kalau pelajaran bahasa Inggris waktu di sekolah, aku kan pengen ngomong cas-cis-cus gitu yah, tapi tau sendiri di sekolah umum (non Internasional) lebih ngajarin secara akademisnya, alias kamu cuma diajarin gimana caranya nyelesein soal yang ada di soal ujian, bukan diajarin buat bisa aktif ngomong. Aku belajar bahasa Inggris dari kelas 4 SD sampe semester 1 kuliah, dan rasanya bertahun-tahun aku belajar tetep aja tuh aku kagak ngerti kalau ada bule dipinggir jalan ngomong (ya iyalah, bulenya bule Jepang). Ok, intinya aku gak ngerti, ditambah lagi aku gak pernah sama sekali ikut les bahasa Inggris atau apa semacemnya. Sampe pada akhirnya setelah jadi pengangguran sebulan, tepatnya akhir bulan September dengan tekad yang dibulatkan, harapan yang digantungkan, usaha yang dipanjangkan (halah) aku memutuskan buat ambil kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare, ya Kampung Inggris men, keren kan?? Bayangan aku disana tuh bener-bener kayak di luar negeri gitu, ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, tukang bakso, petani, guru ngaji, guru bahasa Inggris ngomongnya pake bahasa Inggris gitu sehari-harinya. Wih, canggih sob. Makin-makin deh aku ga sabar kesana.

Transport ke Kampung Inggris bisa naik bus, travel, kereta, atau pesawat turun di Heathrow Airport. kalau aku kesana naik kereta dari Jogja abis mau naik pesawat minta jemput pangeran William si doi lagi sibuk ngurusin si Charlotte (krik), aku naik kereta ekonomi Kahuripan berangkat jam 4.50 pagi dari stasiun Lempuyangan Yogyakarta harganya 90rb, buat kamu yang mau naik eksekutif ada kok jam 8.00an kalau gak salah, liat aja sih di kereta-api.co.id :D. Untuk yang mau naik travel harganya 130-150rb dari terminal Jombor Yogyakarta, naik pesawat dari Soetta sampai Heathrow 50jtan pake Garuda first class, kalau bus maaf gak tau. Aku berangkat tanggal 26 September 2015, karena bertepatan dengan Idul Adha jadi pas itu periodenya mundur jadi tanggal 28.

Oh ya, pertama-tama aku jelasin dulu disana itu sistemnya gimana kali ya. Jadi disana itu tiap bulannya ada dua periode, periode tanggal 10 dan periode tanggal 25, setiap periode dua minggu, 10 hari pertemuan (sabtu-minggu libur). Semua lembaga alias tempat les-lesan serempak kayak gitu gak ngerti deh kok bisa, sebelumnya uda pada kumpulan kali buat ngerapatin ini (ya iyalah). Nah kalau tanggal 10 atau 25 bertepatan sama hari raya atau weekend, otomatis diganti di hari selanjutnya sampe gak ketemu hari raya atau weekend. Ngerti gak? Ngerti aja ya! Dan kalau kamu mau ikut salah satu periodenya, kamu kudu daftar (yaiyalah), daftarnya bisa lewat agen yang biasanya pendaftarannya lewat internet gitu, nah keuntungannya lewat agen kamu udah terima beres aja gitu, mau daftar di lembaga manapun bisa udah diurusin, dan sekalian ada fasilitas penjemputan di stasiun Kediri. Tapi kamu harus nambah bayar 80rb (di jaman aku). Atau cara pendaftaran kedua, kamu bisa daftar sendiri langsung ke lembaganya, tapi lembaga jarang yang ada nyediain jasa penjemputan ya. Nah, untuk kapan idealnya kapan kamu daftar sebaiknya sih aku saranin minimal beberapa hari sebelum tanggal mulai belajar, soalnya biasanya sering pada penuh, apalagi kalau bertepatan sama musim liburan.

Balik lagi ke perjalanan aku, sampe stasiun Kediri jam 9.45, dan jangan kira kalau kamu udah sampe kediri artinya kamu tinggal selangkah lagi sampe Kampung Inggris. Enggak! Masih beribu-ribu langkah tauk! Alias masih sekitar satu jam perjalanan. Makanya di atas aku bahas soal penjemputan. Dan pasti yang kamu tanya “terus gimana dong cara nyampe Kampung Inggrisnya?” gampang, panggil aja Gojek buat nganter. Ya gak lah, disana belum ada Gojek, ojek biasa sih ada biayanya sekitar 50rban. Mahal kan? Mahal sih menurut aku. Ada yang lebih ekonomis lagi, yaitu yang pertama kamu bisa naik –istilahnya nyarter- mobil (minibus) sejenis avanza, xenia, dsb gitu deh yang udah ngetem di stasiun Kediri siap nerkam penumpang, biasanya semobil harganya 250-350rb tergantung kepiawaian kamu nego sih. Kalau kamu ada barengannya sampe 7 orang, kan lumayan bisa dibagi tuh jadi sekitar 35-50rb. Nah cara kedua yang lebih ekonomis yaitu kamu bisa naik angkot. Harganya 15-25rb aja, tapi kamu ga bisa langsung naik dari stasiun, kamu kudu jalan kaki sampe ke halte (jarak +- 300m) atau naik becak dengan bayaran 5rb/orang. Atau nih ya, kalau kamu udah punya kontak abang angkotnya kamu malah bisa dijemput sama abangnya di stasiun dengan harga yang sama antara 15-25rb. Asik kan??

Setelah sekitar satu jam perjalanan sampailah aku di Kampung Inggris, Pare. Pertama nginjakin kaki di Kampung Inggris, aku udah gak sabar nungguin warga situ pada ngomong. Dan kebetulan karena aku laper dan haus, jadi aku mampir dulu ke warung buat beli es nutrisari sama roti dua bungkus. Karena aku mau komunikasi sama warga Kampung Inggris, otomatis aku siapin lah ya bahasa Inggris aku, aku latih dalam hati. Belum selesai aku ngelatih dalam hati, ibu-ibu penjualnya udah nyapa “tumbas opo mbak?” lah kok jadi Jawa? Seketika pupus semangat aku buat ngelatih percakapan penjual-pembeli dalam hati “es teh bu”. Dan ternyata bener aja, disana gak kayak yang aku pernah denger sebelumnya, warga sekitar masih pada ngomong bahasa Indonesia kok, kadang Jawa. Cuma emang ada sih beberapa warung/penjual yang pake English Service kayak contohnya pas itu aku nemuin salah satu penjual pentol/cilok nawarin dan ngelakuin transaksi jual-beli pake bahasa Inggris, terus ada juga seorang tukang becak nawarin jasanya pake bahasa Inggris, kece kan? tapi itupun jarang-jarang sih, gak kayak ekspektasi aku. Belom aja kali yah. Setelah itu aku langsung lanjutin perjalanan ke tempat kursus. Tepatnya di Global English, iya itu lembaga kursus akuh. Khusus untuk di GE, kalau mau ambil program speaking ada placement testnya gitu, jadi kamu bakal ditempatin di kelas yang sesuai dengan kemampuan kamu. Yang ngetes tutor-tutor situ aja kok yang masih muda dan baik-baik. Tesnya semacam diwawancara gitu, nanyanya macem-macem rahasia.

Setiap lembaga ada yang menyediakan fasilitas camp, ada yang enggak. Tergantung kamu milih lembaganya. Kalau kamu enggak mau ngecamp, kamu bisa ngekost, harga kost disana kisaran 150-300rb per orang per bulan dan satu kamar biasanya ditempati 2-4 orang, jarang banget yang satu orang per kamar, kalaupun ada biasanya harganya lumayan mahal. Nah untuk harga camp biasanya itu udah paketan sama harga program di masing-masing lembaga, sebagai contoh nih aku ambil program di GE (GE termasuk yang biaya lesnya standar alias tengah-tengah) paket 1 bulan itu biayanya 775.000 udah termasuk camp, 2 program camp, dan 5 program reguler.  Pokoknya sebagai gambaran, biaya les disana rata-rata per periodenya (10 kali pertemuan) itu kisaran 40-175rb harga berbeda-beda setiap program dan lembaganya, yang jelas secara umum dijamin lebih muraahh dibanding biaya les di kota-kota besar. Untuk berapa nominal secara tepatnya silahkan cek di website lembaganya masing-masing ya.

Terus apa sih bedanya ngekost sama ngecamp? Jadi kalau ngekost udah pasti lebih bebas dan sedikit aturan, cocok nih buat kamu yang gak suka diatur dan pengen waktu boboknya lebih panjang. Kalau ngecamp, di camp tuh ada program camp, biasanya pagi habis subuh dan malam habis magrib. Di program itu kamu bakal dikasih materi yang berbeda-beda tiap harinya, jadi kamu juga dituntut belajar di program itu, tapi tenang aja biasanya program camp lebih nyantai dan fun dibanding program kelas reguler. Dan selain itu, kalau di camp kamu diwajibkan ngomongnya pake bahasa Inggris, kalau kamu keceplosan atau ketauan ngomong bahasa Indonesia biasanya sih kena hukuman gitu. Jadi buat kamu yang fokusnya pengen lancar speakingnya saranku sih tinggal di camp aja, karena kamu bakal dipaksa biasa buat ngomong bahasa Inggris, dan itu menurutku ngaruh banget dalam memperlancar speaking kita. Ngutip kata-kata menarik dari salah satu tutorku sih “Dalam mempelajari bahasa itu tidak ada yang lebih pintar, yang ada yang lebih terbiasa” artinya belajar bahasa paling efektif ya kita praktekin dan kita biasain. Ye gak? Nah kalau buat kamu yang ngerasa speakingnya udah OK dan fokusnya itu cuma pengen ngambil TOEFL atau IELTS aja sih ngekost aja gpp, karena biasanya TOEFL atau IELTS itu dalam sehari jadwalnya padet banget dan biasanya kamu udah cape kalau untuk ngikutin lagi program di camp.

Selain kamu perlu tau perbedaan kosan dan camp, ada yang gak kalah penting buat kamu tau nih. Iya! tentang biaya hidup disana, pasti pada pengen tau juga kan? biaya hidup disana ituu... weits dijamin aman di kantong bahkan buat para mahasiswa fakir kayak aku. Soalnya biaya hidup disana itu relatif mursida binggo alias murah, sebelas-duabelas lah sama hidup di Jogja. Ini pastinya kabar gembira untuk kita semua (nada iklan mastin)... Buat bayangan nih, nasi ayam harganya 7-10rb per porsi, es teh 1.5-3rb per gelas, nasi pecel 4000, jus/sop buah 5000. Dan disana juga banyak tempat makan yang modelnya prasmanan gitu jadi bisa disesuain sama selera dan kantong tentunya. Selain biaya makan, biaya laundry disana juga sama terjangkaunya berkisar antara 3500-4000 per kilonya dan bisa jadi dalam 24 jam. Wihii asek.
"terus transport disana gimana? secara eke kan mahasiswa kece gitu yang ga bisa cape dan kena debu, sehari-harinya dianter supir naik mobil" hmmm... gimana yah kalau gitu, soalnya transport disana itu sebagian besaaarr pake sepeda, karena Kampung Inggris itu cukup besar untuk dikelilingi dengan cara jalan kaki, terus kalau mau pake motor sewanya mahal 50-100rb per 24 jam, mobil 250-300rb per 24 jam. Makanya orang milih sepeda, cukup terjangkau kok harganya antara 50-150rb tergantung kualitas sepedanya.
"naik sepeda bikin item dong?" emang, pasti lah apalagi disana kalau siang panasnya terik yang agak berlebihan. Buat ngakalinnya kalian bisa make topi dan kaos kaki juga krim tabir surya, kalian bisa bawa dari rumah atau beli disana, disana banyak kok yang jual perlengkapan semacam itu mulai dari kaos kaki, topi, baju, tas, sendal, sarung tangan, gayung, ember, gantungan baju. Ah pokoknya lengkap dan gak usah jauh-jauh nyarinya. Warga sekitar udah pinter baca peluang bisnis kok. Kalian tinggal pilih aja barang yang kalian mau.
"wih ada semua, tapi kalau duitnya abis gimana?" ngepet aja tong, gak lah. Disana ada ATM kok, walaupun gak semua ada, tapi untuk mandiri, BCA, BRI disana ada, sisanya mungkin ada tapi agak jauh. "kalau duit aku yang di ATM juga abis gimana?" hmm itu sih derita lo.

Nah itu cerita singkat selama aku di Kampung Inggris, Pare. Dan sumpah percaya sama aku, disana itu seruuuu banget. Bikin gak pengen pulang. Hehe.. awalnya buat yang belum terbiasa diatur kayak tinggal di asrama pasti berat, tapi itu cuma beberapa hari aja. Lama-lama terbiasa dan ketagihan! Lain kali aku ceritain tentang gimana lingkungan disana, tempat wisata, suhu, kelembaban, tekanan, kecepatan angin, turbulensi, kavitasi, halah.. Disana tuh namanya Kampung Inggris, tempat wisatanya kayak di Perancis, suhunya kalau siang panaass banget kayak di Merkurius. Seru kan? Kapan-kapan aku ceritain lagi. See ya...



20 November 2015 

Sunday, 17 November 2013

Gunung Mimpi


Sejak kecil aku menyukai acara televisi yang berbau petualangan. Aku sangat menyukai saat pembawa acaranya sedang berpetualang mendaki gunung. Aku menyukai itu, menantang, banyak pepohonan dan indah. Suatu hari acara itu menayangkan pendakian ke suatu gunung yang berada di Jawa Timur. Gunung yang sangat menakjubkan ku rasa, ada danau yang berkilauan dengan latar belakang pepohonan yang indah, padang rumput yang menawan seperti permadani, dan ada pula padang bunga ungu yang luar biasa indahnya. Sungguh pemandangan yang selalu ku impikan. Gunung itu ku sebut gunung mimpi. Karena keindahannya seperti yang biasa ku lihat di bayangan mimpi-mimpi ku sewaktu kecil.

Sejak menonton acara itu aku selalu membayangkan bisa kesana saat aku sudah besar nanti. Aku ingin melihat secara langsung pemandangan gunung itu yang selama ini hanya sekilas ku lihat di televisi. Pemandangannya luar biasa indahnya. Bahkan membayangkannya saja sudah membuatku gemetar. Sungguh seperti di negeri dongeng.

Sekarang sudah bertahun-tahun berlalu, dan aku tetap mengidamkan bisa mendaki gunung itu. Sewaktu SMA aku mengikuti ekstrakurikuler pecinta Alam, dengan harapan agar aku bisa mendaki gunung-gunung yang indah. Termasuk gunung mimpi itu. Tapi tampaknya gunung mimpi belum mengundangku. Aku belum sempat kesana hingga saat ini.

Aku sangat berharap suatu saat nanti bisa datang dan bertamu kepadanya. Sudah lama ku nantikan memang. Bahkan beberapa kali aku memimpikannya dalam tidurku. Mendatangi gunung tersebut. Dan benar saja, dalam mimpiku aku melihat padang rumput yang sangat luas dan indah, dan tanjakan-tanjakan menantang yang membuat semua orang penasaran ingin mengetahui ada apa di atas sana. Aku juga melihat adanya patung Yesus yang sangat besar, berdiri kokoh disitu seperti sebuah monumen. Tapi yang ku dengar dari cerita orang sih tidak ada patung Yesus disana.

Tuhan, sekarang aku sudah cukup besar untuk boleh melakukan perjalanan panjang dan menantang. Tapi sekarang aku sudah tidak sesehat dulu Tuhan, kapan saja aku bisa sakit, dan kalau penyakitku sedang datang, rasanya sakit sekali untuk digerakkan. Tapi ku rasa itu tidak jadi masalah Tuhan, dengan rasa optimis dan keyakinanku pasti kau akan menolong dan mengabulkan doaku kan? Sesungguhnya Kau kan yang maha mengatur sakit tidaknya seseorang?

Kau sungguh maha pencipta yang terhebat, Tuhan. Hanya Kaulah yang bisa menciptakan keindahan sedemikian rupanya itu. Kau sang maestro alam.  Hanya melihatnya di televisi saja sudah membuatku mengawang. Aku ingin kesana, izinkanlah gunungmu itu mengundangku dan menjamuku dengan segala keindahannya. Kabulkanlah doaku ya Tuhan.... Agar gunung itu tidak hanya sekadar mimpi bagiku, sudah cukup ku rasa waktu yang ku gunakan untuk memimpikannya. Kini aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Amiinn...


Yogyakarta, 12 November 2013

Papa Pei....

Well, sebagai permulaan. Kisah ini dialami oleh salah seorang temanku, dan seperti biasa dia menitipkan tulisannya dalam tempat sampahku ini.

“Aku seorang perempuan, saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan saat itu aku sedang ujian nasional tingkat SMP. Aku ingat aku pulang ujian malah justru meminta izin kepada orang tuaku untuk bermain bersama teman. Izin ku hanya sebentar saja, dan mereka dengan enggan mengizinkan karena aku memaksa. Aku bermain bersama salah seorang temanku dengan ceria, hampir lupa padahal besok ujian IPA. Kami membicarakan banyak hal, bercanda, tertawa. Hal itu sangat menghibur ditengah-tengah penatnya pikiran karena ujian. Langit sore sudah menguning, aku sadar aku sudah mewati jam janjiku tadi. Sehingga ku putuskan untuk segera pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah aku membuka pintu depan pelan-pelan, takut ketahuan oleh ibuku. Ternyata aku dapat zonk. Saat pintu ku buka, justru ibuku sudah dibalik pintu dengan muka tampak tidak senang. Ku perhatikan mukanya, aku tidak berani lama-lama aku takut dimarahi. Mukanya memerah. Tadinya aku berniat menundukkan kepala, tapi karena merasa janggal dengan ekspresi ibuku yang lebih mirip menahan kesedihan daripada marah, aku menatapnya lebih lama. Tidak ada kata-kata yang keluar di antara mulut kami. Ibuku justru malah terisak tidak dapat menahan air mata, kemudian memelukku. Aku masih bingung ada apa ini, hal buruk pasti telah terjadi. Beberapa detik kemudian baru ibuku bisa berbicara. Dia mengatakan bahwa Papa Pei meninggal, dia menahan badanku karena tahu reaksiku pasti akan mengamuk. Benar saja, tidak banyak air mata yang keluar, aku justru mengamuk dan marah. Kala itu aku bingung, dan aku tidak tau ingin marah ke siapa. Yang ku rasakan hatiku sangat sakit, dan aku tidak mampu menahannya. Aku tidak terima Papa Pei harus meninggal secepat ini. Diusiaku yang segitu aku belum bisa menahan emosiku. Ayahku tak lama datang dan menahan diriku yang marah seperti orang kesetanan. Dia bilang, “Papa pei sudah saatnya pergi.. Kita masih bisa bertemu di kehidupan selanjutnya...” dan kata-kata bijak lainnya yang aku pun tidak konsentrasi mendengarkannya.

Meninggalnya Papa pei lebih menyakitkan hatiku karena mungkin saat itu usiaku berada dipuncaknya kelabilan. Papa pei adalah keluarga dari ayahku, dan dia adalah sosok ayah bagiku sejak aku mulai belajar membaca sampai aku remaja. Kala itu ayahku tidak ada bersamaku, begitupun ibu dan adikku. Hubungan ku dengan Papa Pei tentu jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan orang tuaku kala itu. Papa Pei pun sepertinya sudah menganggapku anakknya sendiri. Aku ingat setiap hari senin aku selalu dibelikan coklat dan bakso.

Kematian Papa Pei saat aku ujian membuatku tidak bisa pulang. Hanya wasiatnya yang ku turuti, dia ingin aku masuk sekolah negeri. Setahun kemudian baru aku pulang kekampung halaman. Sudah ku rencanakan aku tidak akan menangis saat aku tiba disana. Aku mengingat itu setiap saat.

Setibanya di kampung halaman aku disambut oleh keluarga besarku, itu sudah menjadi tradisi. Terlebih mereka tahu aku pulang sendirian dari tempat yang jauh disana. Ada kejanggalan saat aku datang, biasanya Papa Pei yang menyambutku paling depan dan membawawkan tasku. Kini dia tidak ada lagi. Namun justru keluargaku menyambutku dengan senyuman yang di lebar-lebarkan. Ada keharuan disitu, jelas kesedihan saling kami sembunyikan. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi dengan keharuan, aku masuk kamar dan akhirnya menangis. Budeku menghiburku dengan menahan tangisnya juga. “aku merindukan Papa Pei bu” kataku kepada budeku. Dan aku memaksa untuk dibawa ke tempat semayamnya. Budeku menjanjikanku sore harinya.

Kematian papa Pei sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini saat aku pulang ke kampung halaman, aku masih bisa melihat beliau menyambutku di pintu rumah dan menawarkan membawakan tasku. Tiap aku ke persemayamannya, aku selalu tersenyum sendiri. Dulu sejak aku kecil, aku selalu pergi ke kuburan dengan Papa Pei, dia yang mengajariku merawat kuburan leluhur. Kami memetik bunga bersama, mencabuti rumput bersama, dan membersihkan batu nisan dari lumut dan rayap bersama. Tapi sekarang, aku justru yang membersihkan makamnya, menaburi bunga ke makam orang yang dulu melakukan hal yang sama bersama denganku. “Pa Pei, maaf aku sekarang jarang ke kuburan lagi...””


Yogyakarta, 11-11-2013

Batu Nisan

Buk, kisah ini terjadi kurang lebih awal tahun 2011 yang lalu...
Buk, pernah kau membandingkan teman mana yang paling kamu sukai? Aku pernah, hah, seharusnya tak pantas bagi siapapun membandingkan satu teman dengan teman yang lain. Tapi buk, pikiran itu pernah terlintas karena aku pernah merasa terkhianati oleh seorang teman. Sungguh buk, kala itu aku sangat menyayanginya, sangat. Dia sudah ku anggap milikku buk, aku ceritakan ke semua orang bahwa aku punya teman dia, konyol, unik, bodoh tapi cerdas, dan hal lucu lain mengenai dirinya. Ku ceritakan dia kepada orang tuaku, temanku, sepupuku, adikku. Itu karena aku bangga dengan dia buk. Tapi buk, ada suatu kejadian yang membuatku hanya bisa kecewa dengan pertemanan ini. Panjang bila diceritakan, singkat cerita belakangan aku tidak dianggap teman lagi olehnya, ini hanya karena perbedaan pendapat di suatu urusan sosial. Sakit hatiku ini buk, dia hanya mau berteman dengan orang yang sependapat dengannya. Banyak temanku yang jadi sejalan dengannya dan kemudian juga menjauhiku. Temanku yg lain tetap tersenyum dihadapanku, tapi aku tau, dalam hatinya tetap menyimpan kejanggalan, kejanggalan seperti seseorang yang overdosis memakan selai kacang. Alias keracunan. Haruskah perbedaan pendapat urusan forum menjadi penghalang kita dalam berteman? Dia pernah mengataiku di depan teman yang lain bahwa aku gila hormat, tapi coba lihat, siapa yang ingin kata-katanya selalu dituruti? Entah siapa yang egois buk! Maaf, sungguh aku tidak bermaksud menyalahkannya.

Buk, kala aku lihat mereka, sering dalam hatiku aku berbicara sendiri. Apa kalian ingat kita pernah pergi ke danau dan menginap bersama? apa kalian masih menyimpan baju boyband kalian? Ingatkah kalian kita pernah memandang bintang bersama? berkhayal bersama? dan bangga atas pertemanan kita ini?
Sering ku perhatikan dirimu, ingin ku sampaikan ini padamu kawan. Kenapa kamu tambah kurus? Apa kamu sedang stres karena sesuatu? Rambutmu sudah terlihat gondrong, kapan mau memotongnya? Katanya ingin mengajakku naik gunung, kenapa sudah berkali-kali naik aku gak pernah diajak? Padahal kamu tau aku selalu mengatakan aku ingin naik gunung. Hehe... teman-temanku  jangan lupa kalian makan, jaga kesehatan dan rajin ganti baju. Kalian terlihat kusut dan banyak pikiran. Kalau baju kalian habis, kita bisa beli baju yang sama untuk dipakai, seperti jaman dulu kita selalu membeli baju yang seragam seperti anak panti. Aku rindu kalian temanku, tapi aku sadar seperti kata orang bijak “ada pertemuan, ada pula perpisahan” mungkin sudah saatnya aku berpisah dengan kalian, bukan berpisah secara fisik, tapi jiwa kalian sudah bukan untukku lagi. Selamat jalan teman-temanku yang ku sayang. Bahkan bila ada batu nisan untukmu, batu nisan itu akan selalu ku jaga sebagai tanda atas jejakmu yang indah.

Ok, anyway tapi gak papa buk. Sekarang aku tau jawabannya buk, kalau aku ditanya teman mana yang paling kau percaya. Saat ini, aku akan memilih temanku semasa kecil. Kita berteman tanpa asas kepentingan buk. Kita berteman karena kita memang pingin bersenang-senang. Bukan karena dipaksa dalam suatu lingkungan, atau karena alasan sama-sama anak rantau. Tapi ini tidak menutup kemungkinan aku akan menemukan teman yang benar-benar tulus di waktu yang sekarang atau mendatang. Selalu ada orang baik yang diciptakan untuk kita buk. Aku percaya itu.

Dan ada satu hal lagi yang bisa ku petik pelajaran buk. Sayang sama orang boleh, bukankah sesama manusia kita harus saling menyayangi? Ya, tapi jangan terlalu dipercayai. Gak percaya bukan berarti selalu curiga dan gak berbuat baik kepadanya. Kita harus tetap berbuat baik sama siapa aja, apalagi teman kita. Gak penting deh, orang lain butuh kita untuk berbuat baik atau gak, kapan dia kangen sama kita, dan kapan dia butuh kehadiran kita. Yang terpenting adalah kita selalu ada di sampingnya, berusaha buat lingkungan tertawa dan bahagia. Selalu ada disampingnya bukan berarti protektif buk tapi biar kita selalu avaliable kalo dia memang butuh kita kapanpun.


Yogyakarta, 10 November 2013