Sunday, 17 November 2013

Gunung Mimpi


Sejak kecil aku menyukai acara televisi yang berbau petualangan. Aku sangat menyukai saat pembawa acaranya sedang berpetualang mendaki gunung. Aku menyukai itu, menantang, banyak pepohonan dan indah. Suatu hari acara itu menayangkan pendakian ke suatu gunung yang berada di Jawa Timur. Gunung yang sangat menakjubkan ku rasa, ada danau yang berkilauan dengan latar belakang pepohonan yang indah, padang rumput yang menawan seperti permadani, dan ada pula padang bunga ungu yang luar biasa indahnya. Sungguh pemandangan yang selalu ku impikan. Gunung itu ku sebut gunung mimpi. Karena keindahannya seperti yang biasa ku lihat di bayangan mimpi-mimpi ku sewaktu kecil.

Sejak menonton acara itu aku selalu membayangkan bisa kesana saat aku sudah besar nanti. Aku ingin melihat secara langsung pemandangan gunung itu yang selama ini hanya sekilas ku lihat di televisi. Pemandangannya luar biasa indahnya. Bahkan membayangkannya saja sudah membuatku gemetar. Sungguh seperti di negeri dongeng.

Sekarang sudah bertahun-tahun berlalu, dan aku tetap mengidamkan bisa mendaki gunung itu. Sewaktu SMA aku mengikuti ekstrakurikuler pecinta Alam, dengan harapan agar aku bisa mendaki gunung-gunung yang indah. Termasuk gunung mimpi itu. Tapi tampaknya gunung mimpi belum mengundangku. Aku belum sempat kesana hingga saat ini.

Aku sangat berharap suatu saat nanti bisa datang dan bertamu kepadanya. Sudah lama ku nantikan memang. Bahkan beberapa kali aku memimpikannya dalam tidurku. Mendatangi gunung tersebut. Dan benar saja, dalam mimpiku aku melihat padang rumput yang sangat luas dan indah, dan tanjakan-tanjakan menantang yang membuat semua orang penasaran ingin mengetahui ada apa di atas sana. Aku juga melihat adanya patung Yesus yang sangat besar, berdiri kokoh disitu seperti sebuah monumen. Tapi yang ku dengar dari cerita orang sih tidak ada patung Yesus disana.

Tuhan, sekarang aku sudah cukup besar untuk boleh melakukan perjalanan panjang dan menantang. Tapi sekarang aku sudah tidak sesehat dulu Tuhan, kapan saja aku bisa sakit, dan kalau penyakitku sedang datang, rasanya sakit sekali untuk digerakkan. Tapi ku rasa itu tidak jadi masalah Tuhan, dengan rasa optimis dan keyakinanku pasti kau akan menolong dan mengabulkan doaku kan? Sesungguhnya Kau kan yang maha mengatur sakit tidaknya seseorang?

Kau sungguh maha pencipta yang terhebat, Tuhan. Hanya Kaulah yang bisa menciptakan keindahan sedemikian rupanya itu. Kau sang maestro alam.  Hanya melihatnya di televisi saja sudah membuatku mengawang. Aku ingin kesana, izinkanlah gunungmu itu mengundangku dan menjamuku dengan segala keindahannya. Kabulkanlah doaku ya Tuhan.... Agar gunung itu tidak hanya sekadar mimpi bagiku, sudah cukup ku rasa waktu yang ku gunakan untuk memimpikannya. Kini aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Amiinn...


Yogyakarta, 12 November 2013

Papa Pei....

Well, sebagai permulaan. Kisah ini dialami oleh salah seorang temanku, dan seperti biasa dia menitipkan tulisannya dalam tempat sampahku ini.

“Aku seorang perempuan, saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan saat itu aku sedang ujian nasional tingkat SMP. Aku ingat aku pulang ujian malah justru meminta izin kepada orang tuaku untuk bermain bersama teman. Izin ku hanya sebentar saja, dan mereka dengan enggan mengizinkan karena aku memaksa. Aku bermain bersama salah seorang temanku dengan ceria, hampir lupa padahal besok ujian IPA. Kami membicarakan banyak hal, bercanda, tertawa. Hal itu sangat menghibur ditengah-tengah penatnya pikiran karena ujian. Langit sore sudah menguning, aku sadar aku sudah mewati jam janjiku tadi. Sehingga ku putuskan untuk segera pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah aku membuka pintu depan pelan-pelan, takut ketahuan oleh ibuku. Ternyata aku dapat zonk. Saat pintu ku buka, justru ibuku sudah dibalik pintu dengan muka tampak tidak senang. Ku perhatikan mukanya, aku tidak berani lama-lama aku takut dimarahi. Mukanya memerah. Tadinya aku berniat menundukkan kepala, tapi karena merasa janggal dengan ekspresi ibuku yang lebih mirip menahan kesedihan daripada marah, aku menatapnya lebih lama. Tidak ada kata-kata yang keluar di antara mulut kami. Ibuku justru malah terisak tidak dapat menahan air mata, kemudian memelukku. Aku masih bingung ada apa ini, hal buruk pasti telah terjadi. Beberapa detik kemudian baru ibuku bisa berbicara. Dia mengatakan bahwa Papa Pei meninggal, dia menahan badanku karena tahu reaksiku pasti akan mengamuk. Benar saja, tidak banyak air mata yang keluar, aku justru mengamuk dan marah. Kala itu aku bingung, dan aku tidak tau ingin marah ke siapa. Yang ku rasakan hatiku sangat sakit, dan aku tidak mampu menahannya. Aku tidak terima Papa Pei harus meninggal secepat ini. Diusiaku yang segitu aku belum bisa menahan emosiku. Ayahku tak lama datang dan menahan diriku yang marah seperti orang kesetanan. Dia bilang, “Papa pei sudah saatnya pergi.. Kita masih bisa bertemu di kehidupan selanjutnya...” dan kata-kata bijak lainnya yang aku pun tidak konsentrasi mendengarkannya.

Meninggalnya Papa pei lebih menyakitkan hatiku karena mungkin saat itu usiaku berada dipuncaknya kelabilan. Papa pei adalah keluarga dari ayahku, dan dia adalah sosok ayah bagiku sejak aku mulai belajar membaca sampai aku remaja. Kala itu ayahku tidak ada bersamaku, begitupun ibu dan adikku. Hubungan ku dengan Papa Pei tentu jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan orang tuaku kala itu. Papa Pei pun sepertinya sudah menganggapku anakknya sendiri. Aku ingat setiap hari senin aku selalu dibelikan coklat dan bakso.

Kematian Papa Pei saat aku ujian membuatku tidak bisa pulang. Hanya wasiatnya yang ku turuti, dia ingin aku masuk sekolah negeri. Setahun kemudian baru aku pulang kekampung halaman. Sudah ku rencanakan aku tidak akan menangis saat aku tiba disana. Aku mengingat itu setiap saat.

Setibanya di kampung halaman aku disambut oleh keluarga besarku, itu sudah menjadi tradisi. Terlebih mereka tahu aku pulang sendirian dari tempat yang jauh disana. Ada kejanggalan saat aku datang, biasanya Papa Pei yang menyambutku paling depan dan membawawkan tasku. Kini dia tidak ada lagi. Namun justru keluargaku menyambutku dengan senyuman yang di lebar-lebarkan. Ada keharuan disitu, jelas kesedihan saling kami sembunyikan. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi dengan keharuan, aku masuk kamar dan akhirnya menangis. Budeku menghiburku dengan menahan tangisnya juga. “aku merindukan Papa Pei bu” kataku kepada budeku. Dan aku memaksa untuk dibawa ke tempat semayamnya. Budeku menjanjikanku sore harinya.

Kematian papa Pei sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini saat aku pulang ke kampung halaman, aku masih bisa melihat beliau menyambutku di pintu rumah dan menawarkan membawakan tasku. Tiap aku ke persemayamannya, aku selalu tersenyum sendiri. Dulu sejak aku kecil, aku selalu pergi ke kuburan dengan Papa Pei, dia yang mengajariku merawat kuburan leluhur. Kami memetik bunga bersama, mencabuti rumput bersama, dan membersihkan batu nisan dari lumut dan rayap bersama. Tapi sekarang, aku justru yang membersihkan makamnya, menaburi bunga ke makam orang yang dulu melakukan hal yang sama bersama denganku. “Pa Pei, maaf aku sekarang jarang ke kuburan lagi...””


Yogyakarta, 11-11-2013

Batu Nisan

Buk, kisah ini terjadi kurang lebih awal tahun 2011 yang lalu...
Buk, pernah kau membandingkan teman mana yang paling kamu sukai? Aku pernah, hah, seharusnya tak pantas bagi siapapun membandingkan satu teman dengan teman yang lain. Tapi buk, pikiran itu pernah terlintas karena aku pernah merasa terkhianati oleh seorang teman. Sungguh buk, kala itu aku sangat menyayanginya, sangat. Dia sudah ku anggap milikku buk, aku ceritakan ke semua orang bahwa aku punya teman dia, konyol, unik, bodoh tapi cerdas, dan hal lucu lain mengenai dirinya. Ku ceritakan dia kepada orang tuaku, temanku, sepupuku, adikku. Itu karena aku bangga dengan dia buk. Tapi buk, ada suatu kejadian yang membuatku hanya bisa kecewa dengan pertemanan ini. Panjang bila diceritakan, singkat cerita belakangan aku tidak dianggap teman lagi olehnya, ini hanya karena perbedaan pendapat di suatu urusan sosial. Sakit hatiku ini buk, dia hanya mau berteman dengan orang yang sependapat dengannya. Banyak temanku yang jadi sejalan dengannya dan kemudian juga menjauhiku. Temanku yg lain tetap tersenyum dihadapanku, tapi aku tau, dalam hatinya tetap menyimpan kejanggalan, kejanggalan seperti seseorang yang overdosis memakan selai kacang. Alias keracunan. Haruskah perbedaan pendapat urusan forum menjadi penghalang kita dalam berteman? Dia pernah mengataiku di depan teman yang lain bahwa aku gila hormat, tapi coba lihat, siapa yang ingin kata-katanya selalu dituruti? Entah siapa yang egois buk! Maaf, sungguh aku tidak bermaksud menyalahkannya.

Buk, kala aku lihat mereka, sering dalam hatiku aku berbicara sendiri. Apa kalian ingat kita pernah pergi ke danau dan menginap bersama? apa kalian masih menyimpan baju boyband kalian? Ingatkah kalian kita pernah memandang bintang bersama? berkhayal bersama? dan bangga atas pertemanan kita ini?
Sering ku perhatikan dirimu, ingin ku sampaikan ini padamu kawan. Kenapa kamu tambah kurus? Apa kamu sedang stres karena sesuatu? Rambutmu sudah terlihat gondrong, kapan mau memotongnya? Katanya ingin mengajakku naik gunung, kenapa sudah berkali-kali naik aku gak pernah diajak? Padahal kamu tau aku selalu mengatakan aku ingin naik gunung. Hehe... teman-temanku  jangan lupa kalian makan, jaga kesehatan dan rajin ganti baju. Kalian terlihat kusut dan banyak pikiran. Kalau baju kalian habis, kita bisa beli baju yang sama untuk dipakai, seperti jaman dulu kita selalu membeli baju yang seragam seperti anak panti. Aku rindu kalian temanku, tapi aku sadar seperti kata orang bijak “ada pertemuan, ada pula perpisahan” mungkin sudah saatnya aku berpisah dengan kalian, bukan berpisah secara fisik, tapi jiwa kalian sudah bukan untukku lagi. Selamat jalan teman-temanku yang ku sayang. Bahkan bila ada batu nisan untukmu, batu nisan itu akan selalu ku jaga sebagai tanda atas jejakmu yang indah.

Ok, anyway tapi gak papa buk. Sekarang aku tau jawabannya buk, kalau aku ditanya teman mana yang paling kau percaya. Saat ini, aku akan memilih temanku semasa kecil. Kita berteman tanpa asas kepentingan buk. Kita berteman karena kita memang pingin bersenang-senang. Bukan karena dipaksa dalam suatu lingkungan, atau karena alasan sama-sama anak rantau. Tapi ini tidak menutup kemungkinan aku akan menemukan teman yang benar-benar tulus di waktu yang sekarang atau mendatang. Selalu ada orang baik yang diciptakan untuk kita buk. Aku percaya itu.

Dan ada satu hal lagi yang bisa ku petik pelajaran buk. Sayang sama orang boleh, bukankah sesama manusia kita harus saling menyayangi? Ya, tapi jangan terlalu dipercayai. Gak percaya bukan berarti selalu curiga dan gak berbuat baik kepadanya. Kita harus tetap berbuat baik sama siapa aja, apalagi teman kita. Gak penting deh, orang lain butuh kita untuk berbuat baik atau gak, kapan dia kangen sama kita, dan kapan dia butuh kehadiran kita. Yang terpenting adalah kita selalu ada di sampingnya, berusaha buat lingkungan tertawa dan bahagia. Selalu ada disampingnya bukan berarti protektif buk tapi biar kita selalu avaliable kalo dia memang butuh kita kapanpun.


Yogyakarta, 10 November 2013

Tuesday, 21 May 2013

Sebait Salam


Seorang sahabat menitipkan salam untuk bintangnya yang tak mungkin digapainya, untuk kabutnya yang tak mungkin ditangkapnya, dan untuk angginnya yang tak mungkin dikejarnya. Seorang sahabat itu menitipkan sebait salam padaku, tak berani berujar langsung pada si ‘penyusun alamnya’ dia hanya berani mengungkapkan lewat dunia maya, suatu ketika dia berkata “tidak apa, bukankah rasa ku ini padanya hanya boleh sebatas maya?” aku terdiam dan hanya bisa lanjut menuliskan....
Berantah
Telah ku telaah sampai ku lelah
Apa sapa apa tapa apa canda
Senanung ku tersanjung tak bendung,
Ternyata hanya sandung dibalik mendung nan termenung.
                        Aku kaku, kelu, buntu, kian ragu
                        Kau saku aku dengan paku yang menggaru 
                        Waruku....
05-02-2012
Tanpa mengerti apa maksudnya, semoga sebait salam itu dapat menjadi kunci untuk menembus batas maya.

Yogyakarta, 21 Mei 2013

Empat Buah Lolipop Kuda


Kali ini agak abstrak memang. Agak bingung untuk menceritakannya, ini cerita tentang orang yang ku kenal. Mungkin bisa langsung saja ku mulai. Kali itu, bulan Maret beberapa tahun silam, menjadi anggota baru disebuah perkumpulan tentu akan menambah teman. Dan perkumpulan itu membawaku pada perkenalan oleh beberapa orang, dua diantaranya yaitu Rene dan Vio.
Sesungguhnya aku sudah ‘pernah’ mengenal Vio sebelumnya, tidak akrab memang. Dia hanya teman dari seorang teman baikku, dan kami pernah bertemu beberapa kali. Kesan pertama ku saat bertemu dengan Vio kala itu yaitu –tidak begitu berkesan- biasa saja. Tapi memang ada hal yang menarik dari Vio, dia seorang wanita yang berdandan dominan laki-laki. Namun hal itu tidak terlalu membuatku terkesan, aku sudah sering melihat penampilan wanita seperti itu sebelumnya. Dan Rene, sungguh orang baru bagiku, cukup eksentrik ku rasa. Selain itu dia orang yang mudah tersenyum kepada siapa saja, hanya saja dia memiliki pandangan yang sinis. Jadi sungguh kontras antara bibir dan matanya.
Vio orang yang berambut pendek tentu, bertinggi badan sedang. Kulit sawo matang dan pawakan badannya yang padat, menambah kesan kelelakiannya. Sedangkan Rene, seorang gadis biasa dengan paras lembut dan mata yang khas.
Sebenarnya awalnya kami berkenalan di ‘perkumpulan’ hanya untuk basa-basi. Karena akan aneh rasanya bila dalam satu ‘perkumpulan’ namun kami tidak saling mengenal, minimal tahu nama. Tapi meskipun kami tidak terlalu akrab beberapa kali kami pernah jalan bareng bertiga di luar urusan ‘perkumpulan’, Rene dan Vio cukup seru bagiku untuk ukuran penghuni ‘perkumpulan’ ilmiah semacam itu.
Rene dan Vio ku lihat memang lebih akrab daripada aku dan Rene atau aku dan Vio. Walau mereka pernah beberapa kali terlihat bertengkar, namun aku tahu sesungguhnya mereka sahabat cukup akrab dan cocok, kukira. Pernah sewaktu aku ke kantin hanya berdua dengan Rene, Rene bercerita tentang Vio yang selalu menyebalkan saat ditanya mengenai materi diskusi, dan itu membuatnya marah. Dikesempatan yang lain Rene juga pernah bercerita mengenai Vio yang tukang tidur dan itu menurutnya lucu, tentu Rene bercerita sambil tertawa. Di lain sisi Vio pernah ku lihat membating botol saat Rene mengejeknya dengan suara keras. Dan diwaktu yang lain Vio pernah membelikan Rene empat lolipop gambar kuda karena tau Rene sangat menyukai kuda. Sangat aneh memang mereka, aku hanya bisa membatin dalam hati mengenai tingkah mereka. Persahabatan memang lucu, kadang bertengkar dan kadang akur, kadang membawa kita kembali seperti anak-anak dan dilain waktu membuat kita berpikir dewasa. Bagiku mereka sebenarnya sungguh sahabat yang sejati.
Hari lain di pertemuan ‘perkumpulan’ aku tidak melihat Rene dan Vio, ah mungkin mereka sengaja bolos. Maklum saja mereka berdua bukan tipe orang yang rajin dan terlihat rajin, mereka sudah cukup pintar walau melewatkan beberapa kali mentoring.
“eh Rene Vio gak dateng ya?” tanya Devi, salah seorang anggota ‘perkumpulan’ padaku.
“iya kayaknya”
“apa mereka pergi kencan?” tanya Ghean menyambung pertanyaan Devi.
Kencan? Kata kencan cukup menggelitik bagiku.
“entahlah. Hehe” jawabku geli.
“mereka pacaran ya?” Ghean menyambung pertanyaannya.
“pacaran?” ku pastikan pertanyaannya. Aneh rasanya, bukannya mereka perempuan? Walau Vio terlihat seperti lelaki namun aku tidak pernah berpikir bahwa Vio seorang lesbian. Agak tersinggung sebenarnya aku kala mendapat pertanyaan dari Ghean, karena aku merasa cukup dekat dengan mereka.
“iya, kamu kan cukup akrab sama dia, kok gak tau sih?”
“emang kamu tau darimana?”
“harusnya kau tau darimana, kalau kamu peka” lalu mereka berdua meninggalkanku sendiri.
Pacaran? Ku cerna lagi kalimat itu, tidak menutup kemungkinan seorang manusia mengalami penyimpangan. Tapi aku tidak berpikir ke mereka, aku mengira mereka sahabat. Dan mereka sahabat yang sangat kompak. Sungguh kasihan mereka berdua, hanya karena Rene dekat dengan Vio yang seperti lelaki, mereka dikira lesbi. Sekitar memang terkadang kejam, bicara tanpa difilter.
Beberapa minggu terakhir tidak diadakan pertemuan ‘perkumpulan’ karena bertepatan dengan hari libur panjang, sekolah pun otomatis juga libur. Maka hari-hari ini adalah hari bebas, bebas bermain, nongkrong, tiduran atau yang lainnya. Maka malam ini ku putuskan untuk nongkrong dengan memesan segelas vanilla late sambil menonton pertunjukan musik band ternama. Tempat ini memang biasa menyuguhkan performa-performa dari band-band terkenal, tidak dipungut biaya, dan tidak juga banyak orang berdesakan untuk menontonnya walau pertunjukan ini menampilkan band terkenal, tempat ini seperti telah berhasil mengubah gaya hidup anak muda yang kebanyakan cenderung alay. Disini semua orang seolah diajarkan berperilaku elegan, cukup duduk manis memesan minuman/makanan yang lumayan mahal sambil menikmati alunan musik dari sang bintang atau kalau kau ingin sekadar ngobrol dengan teman. Dan malam itu aku memilih pergi sendirian.
Ditengah-tengah lamunanku memperhatikan orang lalu lalang, tiba-tiba aku dikagetkan oleh dua orang berjalan dengan saling merangkul. Sepertinya aku kenal, tapi tidak, wajah mereka semakin jelas di mataku, dan rasanya aku tidak ingin mengenalinya. Tapi tidak dapat dibohongi mereka Vio dan Rene, keduanya tampak sangat akrab –mesra ku rasa, Vio merangkul pinggang Rene, mereka tampak asyik mengobrol. Sesekali Vio membisikkan sesuatu ke telinga Rene kemudian Rene tertawa dan Vio tersenyum dengan cool, sungguh dari gestur tubuh mereka mengisyaratkan kebahagiaan. Ekspresi Rene menggambarkan saat seperti Rene diberi empat buah lolipop kuda.
Lambat laun mereka melangkah, dan –tidak- mereka berjalan ke arah ku, ah! Mengapa aku yang dibuat salting, batinku. Mereka semakin mendekat dan mendekat, aku kemudian fokuskan pandangan ke vokalis band yang sedang bernyanyi, seolah tidak melihat mereka. Namun sepertinya rasa penasaranku sangat membandel kala itu, pandanganku justru malah berbalik ke arah mereka yang sudah semakin mendekat. Hingga akhirnya pandanganku bertemu dengannya, awalnya kepada Vio, dan akhirnya Rene melihatku juga. Aku bisa melihat sedikit kekikukan mereka bertemu denganku dalam keadaan seperti itu. Namun sedetik kemudian mereka cepat menguasai keadaan, mereka tetap bersikap tenang –dan tetap merangkul- menyapaku “hai Na, sendirian?”
“iya, kalian berdua aja?” kata-kata itu yang reflek terucap.
“iya, tapi kami udah mau selesai. Maaf ya, kami pulang duluan gak bisa nemenin kamu yang lagi Cloudy. Hehe”
“hehe.. gak usah, sendiri kayaknya lebih baik”
“ok deh” Lalu mereka berlalu meninggalkan ku.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang, pikirku. Tapi rasanya memang sulit ku percaya, aku masih ragu apakah mereka pacaran? Ah rasa penasaranku yang tidak bersahabat membawaku menguntit mereka sampai ke parkiran. Dan benar saja, sebenarnya aku antara mengharapkan dan tidak mengharapkan pemandangan seperti ini, Vio membukakan pintu mobil untuk Rene, kemudian mencium pipi Rene, dan Vio tersenyum, dan Rene tersenyum lebih lebar dari Vio. Oh Tuhan! Mereka temanku!
Keesokan harinya aku tidak sengaja bertemu Rene di mini market dekat rumahku. Kejadian semalam antara Rene dan Vio tentu tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih lagi mereka berdua adalah temanku. Dan itu membuatku kikuk apabila bertemu dengan mereka kemudian, terlebih hanya kurang dari 24 jam aku bertemu Rene. Rene menghampiriku dan menyapaku duluan. “beli apa Na?”
“ni beli mentega, sendirian?”
“iya nih, emang biasa sama siapa?”
“Vio” tanpa sadar aku berucap demikian.
“oh, hehe..” Rene tertawa kering karena kikuk “kadang suatu hal dateng begitu aja Na”
“maksudnya?”
“orang mungkin bilang ini gak tepat, tapi hati yang merasakan, semua orang pasti memilih kenyamanan, kayak lo milih gimana cara nyembah Tuhan. Entah otak gue yang udah salah atau otak orang yang gak mau diperbaikin”.
Suasana hening beberapa detik, aku tidak sepenuhnya menyalahkan pelaku apabila ada suatu penyimpangan yang terjadi. Dan kali ini sungguh aku tidak mau membuat diriku terlihat menyalahkan hubungan diantara mereka.
“mungkin memang ada yang harus diperbaiki” jawabku asal untuk memecah keheningan.
Rene hanya tersenyum menjawab kata-kataku dan kemudian berpamitan.
            Jawaban dari Rene tadi sesungguhnya membuat aku cukup syok, syok karena Rene ku anggap bicara gamblang tentang apa yang sedang terjadi. Rene berbicara seolah memang harus terjadi seperti itu. Rene mencantumkan kata “kenyamanan” dan menganalogikan dengan “memilih Tuhan”. Entah otakku yang salah, atau otaknya yang harus diperbaiki. Aku memilih untuk pulang saat itu juga, saat aku berjalan ke kasir untuk membayar, tidak sengaja aku menjatuhkan sebuah toples dan toples itu menghamburkan isinya karena benturan, ku pungut isi toples itu yang tercecer, tanpa disangka tenyata isi toples itu adalah empat buah lolipop kuda.

Yogyakarta, 17 Mei 2013

Sebuah Keluarga di Pesisir Utara Jawa

Aku termasuk orang yang cukup beruntung dalam menjalani hidup, bagaimana tidak, aku pernah menghabiskan masa kecilku dengan tinggal di sebuah desa berjarak 17km dari pusat kabupaten di pesisir utara Jawa. Kala itu aku hidup terpisah dengan orang tuaku, tumbuh dewasa bersama nenek, kakek dan saudara-saudaraku.
            Hidup di desa seperti itu memungkinkan kita mendapat pengalaman yang berbeda seperti orang kebanyakan, dalam hal ini teman-teman ku sekarang yang biasa menghabiskan masa kecilnya dengan permainan timezone. Aku bermain kesana kemari, berjalan kaki berkilo-kilo meter demi mencuri tebu di ladang milik BUMN, atau sekadar mencari buah kecacil yang hanya tumbuh dan berbuah di punden (makam keramat). Aku juga terbiasa bermain ke hutan pohon Sono, tak heran karena aku mempunyai beberapa teman yang bermukim disana, salah satunya yaitu Maria.
            Aku dan Maria, sebenarnya kami tidak cukup akrab. Dia kakak kelasku 3 tahun waktu aku kelas 1, dan akhirnya kami sekelas pada saat aku kelas 5. Tentu umurnya lumayan jauh lebih tua dari aku. Di sekolahan ku, tidak aneh rasanya orang berusia 15 tahun duduk di kelas 5SD, salah satunya adalah Maria. Namun begitu, beberapa kali aku pernah berkunjung ke rumahnya, untuk mampir bermain tentunya, biasanya aku meminta segelas air kendi untuk menghilangkan rasa dahagaku padanya selepas aku bermain di hutan bersama kawan yang lain.
            Keluarga Maria termasuk kategori keluarga yang sangat miskin, sehari-harinya keluarganya hidup dari penghasilan ayahnya sebagai buruh serabutan, dan anggota keluarga yang lain sebagai pencari kayu bakar di hutan. Maria merupakan anak tertua di keluarganya, dia masih memiliki seorang adik lelaki yang usianya setahun lebih muda darinya yang saat itu juga kelas 5. Sebenarnya adiknya tidak hanya seorang, banyak kurasa -sejauh aku menghitungnya-. Namun desakan ekonomi yang parah yang menyebabkan beberapa adiknya harus terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya, ya seperti itulah gosip yang ku dengar sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya gosip, aku tau pasti karena aku pernah menyaksikan sendiri.
            Di sebuah rumah yang lebih mirip gubuk reyot beralaskan tanah, saat itu sore hari, aku ingat udara kala itu lembab karena musim penghujan. Rumah itu cukup ramai didatangi warga sekitar. Aku penasaran, sehingga aku memutuskan berhenti bermain singkongan dan mendatangi sumber keramaian dengan beberapa temanku yang lain. Setiba di dalam rumah itu aku melihat ada bayi yang tampaknya sudah cukup lama menangis, karena tampaknya si bayi sudah mulai kehabisan suara. Rupanya bayi itu adalah adik Maria yang baru saja dilahirkan ibunya, di dekat situ masih ada dukun bayi yang membantu selama persalinan berlangsung. Ibu Maria yang masih berwajah lesu duduk di dipan beralaskan tikar dengan menggendong bayinya, disebelah kirinya ada suaminya yang berdiri didekatnya, dan di kanan ibu Maria ada seorang wanita yang sedang duduk di kursi berusia 30 tahun-an dengan dandanan yang menor dan dan berbaju motif bunga-bunga yang agak norak. Tepat di depan mataku, aku melihat ibu Maria menyerahkan anak itu ke wanita menor tersebut, si wanita menor itu menyambut bayi itu dengan wajah yang jelas menggambarkan suka cita. Jelas diingatanku wanita menor itu berkata “ini anakku, anakku yang cantik, kau adalah anakku”. Sempat aku tidak dapat mencerna kata-katanya dengan otak polosku ini, tapi sedetik kemudian aku langsung mengerti, ternyata aku baru saja melihat seorang bayi “berganti” ibu tepat di depan mataku. Orang-orang disekelilingku, yang umumnya adalah wanita dan anak-anak kemudian bertepuk tangan riuh setelah wanita menor itu mengucap demikian, seolah menyoraki pemenang dari hasil lomba balap karung. Dengan etika orang desa yang terbiasa ceplas-ceplos, para wanita-wanita saksi transaksi jual beli bayi pun tak dapat menahan rasa keingintahuannya yang sangat tidak bermoral “dibayar berapa jeng?” “dapet berapa jeng?” berbagai pertanyaan serupa diutarakan di depan umum kepada ibu Maria. Ibu Maria hanya bisa senyum menjawabnya. Namun si wanita menor ini sungguh kelihatan sekali dia itu sok kaya, dengan ekspresi masih bahagia menggendong si bayi, wanita itu justru yang menjawab “dua juta”
“waahh.. mahal juga ya, yang kemarin satu juta, sekarang naik” komentar-komentar seperti itulah yang umumnya diutarakan oleh wanita-wanita tersebut. Mereka berkomentar seolah-olah menjual anak adalah bisnis yang menarik, karena hanya bermodal punya pasangan dan tenaga.
            Berumah tangga tanpa KB membuat ibu Maria menjadi wanita yang produktif. Dan memang sudah beberapa kali ibu Maria menjual anak-anak bayinya, tentunya hal itu dilakukan tidak sesuai hati nuraninya, hati nuraninya pasti berkeinginan sebaliknya. Tapi apa mau dikata, kemiskinan tidak hanya membuat orang tidak punya uang, kemiskinan juga membuat orang tidak punya pilihan. Demi mempertahankan kehidupan dirinya dan anak-anaknya yang lain, ibu Maria rela menjual bayi-bayinya kepada orang lain, dengan harapan bahwa bayinya kelak dapat tumbuh dikeluarga lain dan menjadi orang yang lebih beruntung daripadanya. Tentu bayi-bayi itu adalah malaikat yang sesungguhnya bagi keluarga Maria, malaikat yang sungguh suci, malaikat yang memberi perpanjangan kehidupan untuk keluarga yang melahirkannya.

Yogyakarta 13 Mei 2013

20 Menit di Jalanan Jogja


Malam semakin larut, pukul 21.00WIB kiranya aku sampai Yogyakarta setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam dari Semarang karena urusan organisasi. Sungguh melelahkan, ditambah lagi dengan harus berlapang dada menjadi penumpang Bus terakhir, sehingga harus duduk di kursi paling belakang yang sebenarnya bagian mesin yang ditutupi busa tipis. Panas pantat dan hampir muntah rasanya duduk tanpa senderan kepala. Bis Ramayana jurusan Semarang-Yogyakarta pemberangkatan terakhir akhirnya tiba di terminal Jombor.
Sempat bingung harus naik apa, kepala pusing sehingga aku malas naik trans Jogja, teman pun semua pergi dengan kesibukannya masing-masing. Maklum malam minggu. Turun dari bus aku disambut dengan seorang Bapak yang menawarkan jasa ojek, setelah melakukan negosiasi beberapa kali, dan setelah menimbang-nimbang alasan di atas akhirnya ku putuskan naik ojek ke jalan kaliurang dengan membayar ongkos Rp. 30.000.
            AB29X8NU, kendaraan roda dua itu perlahan membawaku meninggalkan terminal bus Jombor. Di jalan, pertama kali Bapak itu menanyakan aku kuliah dimana dan fakultas apa. Fakultas? Aku sempat bingung menjawabnya, mungkin yang dimaksud jurusan, dengan mengambil kesimpulan sendiri bahwa mungkin Bapak itu tidak mengerti beda fakultas dan jurusan maka akhirnya ku sebutkan nama universitasku dan jurusanku. “UII, Teknik Kimia pak”. kami lanjut ngobrol, awalnya membahas mengenai kuliah ku “kenapa kuliah di UII mbak? Gak di UGM?” haha.. Pertanyaan lucu, jawaban umumnya pasti karena tidak diterima di UGM. Tapi jawaban pribadiku sedikit berbeda, “iya pak, saya gak ndaftar di UGM, daftar pun palingan gak keterima.hehe”.
”wah mbak pesimis dulu, harusnya tetap dicoba mbak”.
”enggak sih pak, dulu jurusan dan universitas yang saya pengen bukan di UGM, tapi di Bogor, tapi saya gak keterima waktu snmptn, jadi saya disuruh kuliah di Jogja sama Bapak dengan jurusan teknik kimia, saya turuti saja dan saya pilih UII.”
“oh, semester berapa mbak?”
“4 pak,”
“4 mau ke lima ya?”
“iya pak”
“anak saya sekarang semester 5 mbak”
“oh gak jauh beda sama saya dong pak” dalam hati saya berpikir, hebat juga Bapak ini anaknya kuliah, melihat dari profesinya.
“mbak SPPnya berapa? Sistem paket atau sks?”
Wah Bapak ini ternyata mengerti tentang adanya sistem paket dan sks. “sistem sks pak, ya kurang lebih sekian pak (menyebutkan sejumlah nominal) pak”
“oh lumayan ya mbak, anak saya yang perempuan sih 2,5juta, itupun saya sudah merasa berat.”
“emang anak Bapak kuliah dimana? Jurusan apa pak?”
“farmasi UGM mbak” jleb, keren juga, ternyata Bapak ini punya seorang anak cerdas, batinku.
“wah keren itu pak masuk UGM, kan susah masuk situ”
“iya mbak, dia lewat jaur undangan”
“oh..”
Setelah itu kami banyak berbincang-bincang mengenai dunia perkuliahan, kagumku semakin bertambah kala Bapak ini cerita dia juga punya seorang anak lagi, anak sulungnya, lelaki dan berkuliah di ITB Bandung.
“dia dari SMP sudah dapat hadiah motor dari kepala sekolahnya, karena dapat nilai tertinggi, SMA naik kelas tiga sudah diikutin ujian ke Bandung, eh lolos, jadi dikirim kesana, SMAnya cuma 2tahun. Sekarang dia di Bandung sudah mau lulus Mei 2013 ini, kuliahnya dapet beasiswa dari Sampoerna mbak”
WOW! Rasa kagumku tak tertahankan. “luar biasa pak, Bapak berarti sudah berhasil mendidik dan membesarkan anak-anak Bapak”
“saya cuma membesarkan sebagaimana mestinya mbak, dulu saya  tidak bisa sekolah, saya sekolah hanya sampai kelas 3 SD, setiap hari saya menangis kepada orang tua saya minta di sekolahkan, tapi jawaban beliau hanya ‘”yang bisa sekolah itu hanya anak pak lurah, kamu asal bisa macul aja sudah bisa makan kenyang”’ ada rasa sakit di hati saya mbak, sejak saat itu saya bersumpah pada diri saya sendiri, bahwa saya boleh tidak bisa sekolah, tapi anak-anak saya harus pintar dan sekolah setinggi-tingginya. Ya alhamdulillah sekarang saya punya anak cuma dua, dan keduanya membanggakan bagi saya mbak”
Bapak ini sangat mengispirasi bagi saya, bagaimana tidak, bermula dari dendam terhadap keadaan. Dia bersumpah, dan sekarang sumpah itu hampir menjadi kenyataan.
Rute perjalanan sudah ditempuh lebih dari setengahnya. Kendaraan membawaku berbelok ke jalan raya jalan Kaliurang. Karena saking asyiknya bercerita, hampir saja kami menyenggol mobil Honda keluaran terbaru. “mbak kalo liat mobil bagus-bagus gitu pengen punya gak mbak?”
“pengen lah pak pasti”
“kalo gitu belajar yang bener di Jogja ini, fokus kuliahnya, biar minimal bisa beli mobil yang kayak gitu”
Perbincangan terus berlanjut, terlebih saat Bapak itu mengetahui saya orang Tangerang dan dua bersaudara. Kami pun merasa punya beberapa kemiripan, Bapak itu juga pernah tinggal di Tangerang untuk bekerja dan juga punya dua anak.
“anak saya yang perempuan namanya Cantik mbak, wajahnya sih.. yaa cantik itu kan relatif ya. Kakaknya namanya Rizki, Kiki. Gimana ya, mbak gak akan nyangka itu anak saya, dia mirip ibunya. Saya berani jamin deh 75% mbak akan naksir kalo liat anak sulung saya. Hehe... anak pak lurah saja dibuat kesemsem berat sama dia. Badannya bagus dan hidungnya mancung, yang lebih saya suka dia boso (=hormat) kalo sama orang tua, siapapun. Tapi sayang mbak, dia sudah berjanji dihadapan saya, omnya dan pakdenya bahwa tidak akan menikah sebelum dia lulus S3, saya sih mendukung aja, toh itu baik, buat dia jadi fokus”.
Kagum, kagum, kagum. Kagum semakin berlipat-lipat rasanya sedari tadi aku mendengar cerita Bapak ini. Bapak ini juga bercerita, bahwa dulu dia pernah bekerja di Tangerang dan uang hasil jerih payah kerjanya diinvestasikan menjadi Hotel di jalanan kaliurang. Namun sayang, bencana gunung Merapi 2010 meratakan bangunan Hotel yang baru beroperasi 6 bulan itu. Tidak hanya itu, bencana gunung merapi juga menewaskan 5 saudara kandungnya, dan 8 keponakannya. Kini tersisa 8 keponakannya yang lain yang telah yatim piatu, dan semenjak tragedi gunung meletus itu 8 keponakannya diasuh olehnya “alhamdulillah hotel saya rata dengan tanah mbak, gak pa-pa wong itu kan cuma titipan. Saya malah bersyukur kehilangan hotel dapat ganti 8 anak yang baik-baik”
Bapak ini menunjukkan bagaimana ketabahan hati yang luar biasa, dapat berbesar hati dengan musibah yang diterima, dan justru dapat menghasilkan energi yang menjadikan kekuatan untuk diri dan sekitarnya.
Akhir perjalanan, Bapak luar biasa ini menurunkan ku tepat di depan kosku, dengan tersenyum ku sampaikan “terima kasih pak, terima kasih sudah bercerita yang sangat menginspirasiku “
“ok mbak, jangan lupa belajar yang rajin”
Kemudian Bapak itu berlalu, memasukkan gigi motor dengan sendal jepit yang dikenakannya.

Yogyakarta, 04 Mei 2013